Dengan
alasan merupakan mandatory training untuk setiap karyawan, walaupun sudah pernah mendapatkan training itu sebelumnya, akhirnya saya mengikuti
lagi pelatihan “7 Habits for Highly Effetive People” (7 Habits), minggu lalu. Untuk
kali ketiga ini, kawan-kawan di kantor secara bergurau mengatakan , “Berarti
ente punya 21 habits”…wwkkk…. Jujur, saya awalnya rada skeptikal ketika
mengikuti pelatihan ini lagi. Akan tetapi saya teringat perkataan seorang rekan
kuliah, “Setinggi-tingginya ilmu elo bro, itu cuma setitik dari ilmu
pengetahuan yang dikuasai umat manusia sedunia”. Saya juga ingat nasihat dosen saya yang
bilang, “Tingkat intelektual seseorang tercermin dari kemampuannya untuk
meng-compare dan meng-contrast pendapat maupun teori yang pernah dibaca atau
didapatkan. Yang kemudian disarikan, bahkan mungkin dibuat sintesa menjadi
teori baru atau paling tidak pengetahuan baru”. Dengan berbekal mental seperti
itu, saya datang ke acara pelatihan 2 hari itu, duduk manis dan
mendengarkan penjelasan fasilitator yang kebetulan seorang wanita muda.
Saya
tak ingin cerita mengenai bagaimana pelatihan tersebut dilaksanakan atau menggambarkan
cara fasilitator cantik (dan konon single ....wkwkwk) menyampaikan materinya. Tidak pula berusaha menjelaskan kembali pengertian
7 Habits, yang pertama kali dipopulerkan Stephen Covey (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Seven_Habits_of_Highly_Effective_People). Saya ingin membagi
suatu view mengenai 7 Habits ini, yang mungkin sudah banyak orang memahaminya
tetapi saya yakin banyak pula yang belum.
Dari
judulnya “7 Habits”, maka itu adalah 7 kebiasaan yang menurut Covey disarikan
dari hasil penelaahan literature dalam kurun 200 tahun, yang memastikan orang
yang mengamalkannya dengan konsisten akan memiliki karakter “effective people”. Covey mengartikan efektif sebagai kemampuan menghasilkan hal-hal baik dalam
hidup secara terus menerus. Saya memahami bahwa bagi Covey untuk menjadi
sukses people harus menjadi effective people. Covey memang tidak mengungkapkan ukuran
sukses itu apa, hanya dia menjelaskan diakhir bukunya bahwa sukses adalah soal
legacy orang tersebut ketika hidup. Kesuksesan sebangun dengan cara
pandang orang lain terhadap kontribusi positif
kita terhadap hidup orang lain.
7 Habits bermula dari fikiran. Dengan Covey mengkutip nasihat Samuel Smiles (Sow a thought, and you reap an act; Sow and
act, and you reap a habit; Sow a habit, and you reap a character; Sow a
character; and you reap a destiny), dia setuju mengenai pentingnya fikiran
seseorang dalam bertindak, yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter. Fikiran merupakan resultante dari proses
berfikir, yang dilakukan menggunakan software tertentu, disebut paradigma. Secara
singkat paradigma diilustrasikan seperti peta atau cara pandang, cara
menafsirkan dunia sekitar. Covey mendorong orang untuk memiliki paradigma yang
benar. Pardigma yang benar adalah pardigma yang sesuai ”prinsip”. Sedangkan
prinsip diartikan sebagai hukum-hukum alam yang terbukti dengan sendirinya.
Saya menemukan singgungan antara konsep
prinsip ala Covey dengan konsep etika (ethic) yang menjadi bidang kajian riset saya.
Sederhananya etika didefinisikan sebagai
standar moralitas yang menentukan bagaimana seseorang menjalani hidupnya
atau dalam mengambil keputusan. Etika berkaitan dengan hal-hal yang baik bagi
individu dan masyarakat. Etika yang sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang
artinya tadisi, kebiasaan atau karakter (http://www.bbc.co.uk/ethics/introduction/intro_1.shtml).
7 Habits pada dasarnya teknik membentuk
karakter pribadi (Covey menggunakan istilah personal victory) yang kemudian
diaplikasikan kedalam hubungan dengan orang lain (Istilahnya public
victory). Dari pengertian etika yang
saya kutip diatas, saya ingin menggaris bawahi aksioma: ”hubungan dengan orang lain”
diperlukan etika. Berbeda dengan Covey yang bilang bahwa 7 kebiasaan itu harus
dibangun berdasarkan hukum alam yang berlaku universal dan abadi (istilah yang
dipakai Covey ialah ”prinsip”). Sedangkan bagi saya, etika tidaklah bersifat
universal apalagi abadi. Etika seiring sejalan dengan tradisi, budaya,
kesepakatan kelompok-kelompok manusia dimana etika tersebut berlaku.
Saya yakin bahwa aplikasi 7 Habits di
Indonesia oleh orang Indonesia tentu berbeda dengan aplikasi 7 Habits di USA
oleh orang USA. Alasannya etika orang Indonesia bisa berbeda dengan orang USA. Covey
sedikit banyak mengakui adanya ”gap” ini ketika dia bilang bahwa implementasi 7
Habits memerlukan habibat atawa komunitas. Dia menyarankan diseminasi 7 Habits
melalui konsep memperluas cycle of influance (lingkaran pengaruh) dan cycle of
concern (lingkaran kepedulian) yang dilakukan oleh seorang implementor atau
pelaku 7 Habits dan menyebutnya sebagai
agent of change.
Saya hendak membawa diskusi ini lebih jauh
dengan membuat asumsi dan komparasi. Oleh karena saya memahami 7 Habits adalah tools alias alat untuk
mencapai kehidupan yang efektif. Walaupun sesungguhnya saya belum pernah nemu
penelitian empiris yang membuktikan bahwa pelaku 7 Habits ini benar-benar
menjalani hidup yang efektif he he he... . Maka etika yang dianut pelaku
menjadi penting dan menentukan corak implementasi 7 Habit. Mudahnya ketika
etika barat yang dipakai akan berbeda dengan ketika pelaku menggunakan etika
busidho atau etika konfusian atau bahkan etika Islam.
Sebagai contoh salah satu
etika Islam dikenal ihsan (atau ”Benovolence”) yang artinya dalam setiap
hubungan dengan orang lain harus diperlakukan sebagai hubungan yang bersifat
personal, tidak diskriminatif, menyampingkan kepentingan pribadi atau
keuntungan jangka pendek. Ihsan juga mengandung makna kedermawanan dan niat baik
dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Jika etika ihsan dipakai sebagai
paradigma dalam mengimplementasi ”Synergize”, maka ihsan akan menjadi distinctive
factor dibandingkan jika menggunakan etika lain. Synergize adalah soal
membangun team work, dengan ihsan maka hubungan diantara anggota tim menjadi
hubungan pribadi. Synergize dengan ihsan memastikan tercapainya greater
objective yaitu keuntungan jangka panjang yang sifatnya berkelanjutan. Sebagai
tambahan, ciri khas kedermawanan didalam ihsan membentuk sinergy yang bukan
saja bermafaat bagi anggota tim dan tim itu sendiri melainkan kepada komunitas
diluar tim.
Menutup tulisan ini, saya malah membayangkan
7 Habits yang dijalankan berdasarkan etika Islam bisa menjadi mencapai lebih
besar dari tujuan 7 Habits a’la Covey, dalam hal ini membentuk effective
people, melainkan manusia yang bertaqwa. ”Taqwa” is greater than ”effective”. Karena
seperti Covey bilang, tujuan effective people adalah dapat meninggalkan legacy
kepada orang lain. Sedangkan tujuan manusia bertaqwa adalah ridho Allah SWT.
Walahu'alam.
Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com