Jumat, 19 Oktober 2012

7 Habits, antara Prinsip dan Etika


Dengan alasan merupakan mandatory training untuk setiap karyawan, walaupun sudah pernah  mendapatkan training itu sebelumnya, akhirnya saya mengikuti lagi pelatihan “7 Habits for Highly Effetive People” (7 Habits), minggu lalu. Untuk kali ketiga ini, kawan-kawan di kantor secara bergurau mengatakan , “Berarti ente punya 21 habits”…wwkkk…. Jujur, saya awalnya rada skeptikal ketika mengikuti pelatihan ini lagi. Akan tetapi saya teringat perkataan seorang rekan kuliah, “Setinggi-tingginya ilmu elo bro, itu cuma setitik dari ilmu pengetahuan yang dikuasai umat manusia sedunia”.  Saya juga ingat nasihat dosen saya yang bilang, “Tingkat intelektual seseorang tercermin dari kemampuannya untuk meng-compare dan meng-contrast pendapat maupun teori yang pernah dibaca atau didapatkan. Yang kemudian disarikan, bahkan mungkin dibuat sintesa menjadi teori baru atau paling tidak pengetahuan baru”. Dengan berbekal mental seperti itu, saya datang ke acara pelatihan 2 hari itu, duduk manis dan mendengarkan penjelasan fasilitator yang kebetulan seorang wanita muda.

Saya tak ingin cerita mengenai bagaimana pelatihan tersebut dilaksanakan atau menggambarkan cara fasilitator cantik (dan konon single ....wkwkwk) menyampaikan materinya. Tidak pula berusaha menjelaskan kembali pengertian 7 Habits, yang pertama kali dipopulerkan Stephen Covey (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Seven_Habits_of_Highly_Effective_People). Saya ingin membagi suatu view mengenai 7 Habits ini, yang mungkin sudah banyak orang memahaminya tetapi saya yakin banyak pula yang belum.

Dari judulnya “7 Habits”, maka itu adalah 7 kebiasaan yang menurut Covey disarikan dari hasil penelaahan literature dalam kurun 200 tahun, yang memastikan orang yang mengamalkannya dengan konsisten akan memiliki karakter “effective people”. Covey mengartikan efektif sebagai kemampuan menghasilkan hal-hal baik dalam hidup secara terus menerus. Saya memahami bahwa bagi Covey untuk menjadi sukses people harus menjadi effective people. Covey memang tidak mengungkapkan ukuran sukses itu apa, hanya dia menjelaskan diakhir bukunya bahwa sukses adalah soal legacy orang tersebut ketika hidup. Kesuksesan sebangun dengan cara pandang orang lain terhadap kontribusi positif  kita terhadap hidup orang lain.

7 Habits bermula dari fikiran. Dengan Covey mengkutip nasihat Samuel Smiles (Sow a thought, and you reap an act; Sow and act, and you reap a habit; Sow a habit, and you reap a character; Sow a character; and you reap a destiny), dia setuju mengenai pentingnya fikiran seseorang dalam bertindak, yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter. Fikiran merupakan resultante dari proses berfikir, yang dilakukan menggunakan software tertentu, disebut paradigma. Secara singkat paradigma diilustrasikan seperti peta atau cara pandang, cara menafsirkan dunia sekitar. Covey mendorong orang untuk memiliki paradigma yang benar. Pardigma yang benar adalah pardigma yang sesuai ”prinsip”. Sedangkan prinsip diartikan sebagai hukum-hukum alam yang terbukti dengan sendirinya.

Saya menemukan singgungan antara konsep prinsip ala Covey dengan konsep etika (ethic) yang menjadi bidang kajian riset saya. Sederhananya etika didefinisikan sebagai  standar moralitas yang menentukan bagaimana seseorang menjalani hidupnya atau dalam mengambil keputusan. Etika berkaitan dengan hal-hal yang baik bagi individu dan masyarakat. Etika yang sesungguhnya  berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya tadisi, kebiasaan atau karakter (http://www.bbc.co.uk/ethics/introduction/intro_1.shtml).

7 Habits pada dasarnya teknik membentuk karakter pribadi (Covey menggunakan istilah personal victory) yang kemudian diaplikasikan kedalam hubungan dengan orang lain (Istilahnya public victory).  Dari pengertian etika yang saya kutip diatas, saya ingin menggaris bawahi aksioma: ”hubungan dengan orang lain” diperlukan etika. Berbeda dengan Covey yang bilang bahwa 7 kebiasaan itu harus dibangun berdasarkan hukum alam yang berlaku universal dan abadi (istilah yang dipakai Covey ialah ”prinsip”). Sedangkan bagi saya, etika tidaklah bersifat universal apalagi abadi. Etika seiring sejalan dengan tradisi, budaya, kesepakatan kelompok-kelompok manusia dimana etika tersebut berlaku.

Saya yakin bahwa aplikasi 7 Habits di Indonesia oleh orang Indonesia tentu berbeda dengan aplikasi 7 Habits di USA oleh orang USA. Alasannya etika orang Indonesia bisa berbeda dengan orang USA. Covey sedikit banyak mengakui adanya ”gap” ini ketika dia bilang bahwa implementasi 7 Habits memerlukan habibat atawa komunitas. Dia menyarankan diseminasi 7 Habits melalui konsep memperluas cycle of influance (lingkaran pengaruh) dan cycle of concern (lingkaran kepedulian) yang dilakukan oleh seorang implementor atau pelaku 7 Habits dan  menyebutnya sebagai agent of change.

Saya hendak membawa diskusi ini lebih jauh dengan membuat asumsi dan komparasi. Oleh karena saya memahami  7 Habits adalah tools alias alat untuk mencapai kehidupan yang efektif. Walaupun sesungguhnya saya belum pernah nemu penelitian empiris yang membuktikan bahwa pelaku 7 Habits ini benar-benar menjalani hidup yang efektif he he he... . Maka etika yang dianut pelaku menjadi penting dan menentukan corak implementasi 7 Habit. Mudahnya ketika etika barat yang dipakai akan berbeda dengan ketika pelaku menggunakan etika busidho atau etika konfusian atau bahkan etika Islam.

Sebagai contoh salah satu etika Islam dikenal  ihsan (atau ”Benovolence”)  yang artinya dalam setiap hubungan dengan orang lain harus diperlakukan sebagai hubungan yang bersifat personal, tidak diskriminatif, menyampingkan kepentingan pribadi atau keuntungan jangka pendek. Ihsan juga mengandung makna kedermawanan dan niat baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Jika etika ihsan dipakai sebagai paradigma dalam mengimplementasi ”Synergize”, maka ihsan akan menjadi distinctive factor dibandingkan jika menggunakan etika lain. Synergize adalah soal membangun team work, dengan ihsan maka hubungan diantara anggota tim menjadi hubungan pribadi. Synergize dengan ihsan memastikan tercapainya greater objective yaitu keuntungan jangka panjang yang sifatnya berkelanjutan. Sebagai tambahan, ciri khas kedermawanan didalam ihsan membentuk sinergy yang bukan saja bermafaat bagi anggota tim dan tim itu sendiri melainkan kepada komunitas diluar tim.

Menutup tulisan ini, saya malah membayangkan 7 Habits yang dijalankan berdasarkan etika Islam bisa menjadi mencapai lebih besar dari tujuan 7 Habits a’la Covey, dalam hal ini membentuk effective people, melainkan manusia yang bertaqwa. ”Taqwa” is greater than ”effective”. Karena seperti Covey bilang, tujuan effective people adalah dapat meninggalkan legacy kepada orang lain. Sedangkan tujuan manusia bertaqwa adalah ridho Allah SWT.

Walahu'alam.

Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com