Jumat, 07 Maret 2014

Keislaman Indonesia

Sudah lama saya tak update blog ini, terakhir bulan Nopember 2013 wah.... tetapi bukan itu alasan saya menulis soal agama (lagi). Alasan utamanya berangkat dari keprihatinan, bahwa ajaran agama yang adiluhung belum berhasil diimplementasikan dengan baik.

Agama (saya bicara agama Islam, agama yang saya anut)  mengajarkan bahwa Islam adalah ad-dien yang sempurna. Ajaran yang dibawanya adalah komprehensif dan paripurna. Tentu wajar jika para pemeluknya bersemangat dan bangga dengan kesempurnaan Islam. Bahkan saking semangatnya,  kita lupa soal implementasi.

Saya forwardkan tulisan Prof. Komaruddin Hidayat, yang me-review article Rehman dan Askari (2010) yang berjudul "How Islamic are Islamic Countries", yang menempatkan rangking negara-negara Barat lebih Islami daripada  negara-negara yang menganggap dirinya negara Islam atau berpenduduk  mayoritas muslim. Tulisan Rehman dan Askari (2010) bisa diunduh melalui link:
http://www.ahmad-juhaidi.com/wp-content/uploads/2013/06/how-islamic-islamic-countries.pdf

Saya tak paham apakah Prof. Komaruddin, maupun Rehman dan Askari ini muslim sunie atau syiah atau golongan lain. Yang jelas substansi tulisan ini lebih penting yakni masih banyak hal-hal crucial dan prioritas yang harus dilakukan sebelum negara ini pantas menyandang sebagai negara yang Islami.

Akhirnya saya juga enggan berpanjang-panjang berkomentar. Tujuan pemuatan tulisan pak Komar adalah dalam rangka interopeksi dan kontemplasi. Dimana-mana interopeksi dan kontemplasi, lebih banyak diam dan berfikir daripada coment panjang pendek.

Oka Widana
okawidana.blogspot.com
@ahli_keuangan
@owidana

==============

KEISLAMAN INDONEDIA
Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Sumber : KOMPAS, 05 November 2011
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia


Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George  Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya  dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press,  2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan  sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari  sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan  pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan  selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif  Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan  nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun
di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.

Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan
masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama.  Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah
Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru
berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.

Semarak dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna.

Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.

Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia  Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. ●