Senin, 30 Juli 2012

Ujian

Hari ini 30 Juli 2012, saya baru saja melampaui suatu ujian yang sangat penting. Ini ujian berupa qualification examination dari pendidikan akademis yang saya tempuh dua tahun belakangan. Ujian ini menentukan, apakah saya berhak untuk terus ikut dalam program kuliah tersebut atau harus dropped out.

Seperti yang saya bilang diatas saya berhasil melampaui. Sengaja pakai istilah yang aneh begitu, bukannya kata lulus atau pass. Melampaui, karena bagi saya ini cuma rintangan pertama, masih ada ujian dan atau rintangan lain yang tak kalah beratnya. Ujian yang baru saya lampaui ini cuma butuh waktu kerja keras selama 1 tahun  dan menguras mental selama 2 bulan terakhir. Dimana harus menghadapi 2 kali ujian, karena yang pertama saya dianggap tidak berhasil alias gagal dan diminta mengulang. Barulah yang kedua ini, saya dianggap sudah memenuhi syarat untuk "qualified' hanya dengan nilai A minus.

Boleh dikatakan saya habis-habisan dalam urusan ini. Ibaratnya, fikiran pun tak lagi fokus kepada urusan pekerjaan, dibagi dua dengan urusan kuliah ini. Bagi saya, ini memang bukan main-main, karena ada sesuatu yang ingin saya capai.

Kata orang, jika seseorang hendak naik ke level lebih tinggi, maka ia harus bisa melampaui suatu ujian tertentu. Di perguruan silat seperti itu, di perguruan tinggi seperti itu, dikehidupan nyata seperti itu.

Dalam ajaran agama, istilah "ujian" adalah konsep yang penting. Dikatakan bahwa manusia hidup harus melalui berbagai macam ujian. Jika berhasil, maka surga menantinya, dikehidupan berikutnya. Jika gagal, maka neraka menjadi hadiahnya. Konsep ujian bukan konsep sederhana. Disampaikan bahwa  jika Allah menghendaki agar salah satu hamba-Nya naik derajat ke "maqom" yang lebih tinggi, maka Allah menurunkan ujian bagi hamba-Nya itu. Bentuk ujian bisa macam-macam, dari mulai harta (ujian enak), penyakit, musibah (ujian tidak enak). Akan tetapi hebatnya Allah, ujian yang diturunkan itu telah di-customize sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Tinggal  hamba-Nya itu, mau lulus atau tidak. Maha Besar Allah, mau meningkatkan derajat hamba-Nya saja, Allah mau report memastikan bahwa hamba tersebut bisa lulus.

Berbeda dengan ujian yang baru saya lewati. Mana ada ujian disesuaikan dengan yang saya sudah kuasai. Jika ada materi yang kebetulan belum saya baca atau sudah saya baca namun pemahaman saya berbeda dengan penguji, tidak lulus lah saya. Bisa juga kesialan menimpa saya jika misalnya penguji lagi bad mood karena berkelahi dengan istrinya, atau bidang keilmuan si penguji tidak sesuai dengan materi ujian. Sehingga dia bertanya sesuai dengan persepsi sendiri. Kacau kan?

Manusia itu aneh. Dalam kehidupan dunia, semisal saya dengan studi saya, sangat berambisi agar bisa lolos dengan ujian-ujian, dengan nilai setinggi  mungkin. Berapa puluh journal ilmiah yang saya sudah baca? textbook yang saya buat resume-nya? setumpuk data yang saya buat analisis-nya? begitu inginnya saya mencapai nilai A sempurna. Bahkan yang lebih aneh, saya "nantang-nantang" agar saya bisa segera diuji karena sudah merasa siap.

Bagaimana dengan ujian Allah? ah, saya berusaha menghindari. bahkan dalam doapun, dengan selfish saya memohon"Ya Allah hindari hamba dari ujian-Mu. Jika Engkau hendak memberi hamba ujian, maka hendaklah sesuai dengan kemampuanku". Padahal, mana mungkin tanpa ujian manusia bisa naik kelas? Bukankah seharusnya saya berdoa, "Ya Allah ujilah hamba. Ayo dong Allah, hamba kan ingin Engkau naikkan derajat hamba di samping-Mu. Hamba sudah siap kok Allah".

Kalo kita bisa berambisi dengan bentuk-bentuk ujian duniawi, kenapa kita tidak berambisi dengan ujian Allah. Notabene, ujian Allah, jika lulus tidak terukur imbalannya, dibandingkan hasil dari ujian dunia. Walahu'alam.

 
Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com

Kamis, 05 Juli 2012

Bulan Ramadhan a.k.a Bulan Puasa


Kurang lebih 2 minggu lagi umat muslim akan memasuki bulan Ramadhan. Tanggal persisnya, untuk kawan-kawan “penggembira” Muhamadyah mulai 22 Juli 2012, sedang yang lain menunggu pengumuman Pemerintah c.q Menteri Agama. Tebakan saya sih, 1 Ramadhan versi Pemerintah akan mulai tanggal 21. Akan tetapi bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan attitude, behavior, gampangnya culture kita, muslim Indonesia dalam menghadapi dan ketika bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ibadah. Yang utama selain ibadah reguler lainnya, yakni berpuasa, mulai waktu Shubuh sampai berkumandang adzan Maghrib. Arti berpuasa, yang paling sederhana  adalah menahan lapar dan dahaga serta hubungan badan. Dalam definisi  yang lebih kompleks, berpuasa sebenarnya menahan nafsu duniawi termasuk amarah dan berlatih meningkatkan kualitas ibadah baik yang sifatnya ritual maupun hubungan baik dengan sesama manusia. Bulan Ramadhan ini, penuh rahmat, ampunan dan petunjuk Allah SWT, kesempatan bagi muslim untuk meningkatkan kualitas spiritual, bertafakur dan merenung segala perbuatan maupun tindakan bulan-bulan sebelumnya. Dengan harapan, dapat menjalankan praktek kehidupan yang lebih baik setelah Ramadhan. Singkat kata bulan Ramadhan, merupakan bulan istimewa.

Sayangnya keistimewaan Ramadhan identik dengan berbagai hal yang kurang pas, dan terus terang sebagai muslim saya agak malu. Saya kemukakan beberapa contoh dibawah ini.  Bukannya sok tahu atau sok suci, melainkan semata berharap agar menjadi positive internal critic. Mumpung masih 2 minggu lagi, siapa tahu tulisan ini menjadi pemicu Ramadhan bagi kawan-kawan Muslim, yang lebih baik.

Memang secara fisik, karena tak makan dan minum disiang hari, puasa jelas tantangan yang cukup berat. Tetapi toh ini bulan spritual, bagaimana mungkin bisa meningkatkan kualitas spiritual jika tantangan fisik dijadikan alasan untuk misalnya mengurangi produktifitas kerja? Datang kekantor lebih siang dan pulang lebih cepat? Acara-acara workshop dan seminar biasanya dihindari selama Ramadhan. Entah dengan alasan tidak dapat snack atau kencederungan mengantuk karena perut kosong. Bukankah seharusnya Ramadhan menjadi kesempatan muslim mengumpulkan pahala dan berkat sebanyak-banyaknya? Bekerja adalah ibadah, pasti pahalanya melimpah selama ramadhan kenapa harus dikurangi, justru?

Saya seringkali gak enak terutama dengan rekan-rekan non muslim. Mereka malah harus bertoleransi kepada yang sedang berpuasa. Harus maklum jika rekan kerja atau anak buahnya berlambat-lambat dan mengantuk atau pulang lebih cepat. Kesannya Ramadhan malah jadi penghambat. 

Yang lebih parah, Ramadhan mendorong konsumerisme. Belanja dapur lebih banyak, kontradiksi dengan perintah puasa yang justru seharusnya bisa mengurangi porsi makan. Banyak informasi di TV atau media yang bilang bahwa untuk dapat berpuasa dengan lancar maka asupan gizi harus dijaga. Ini diartikan sebagai belanja!! Yang tadinya gak minum susu, jadi beli susu. Yang tadinya makan daging seminggu sekali, ini jadi tiap hari. Yang tadinya gak tiap hari makan telur, pas puasa minimal 2 butir, dan seterusnya. Katanya bulan puasa salah satu tujuannya agar bisa menghayati kehidupan orang tak punya, yang terjadi malah jor-joran. Tak heran jika menjelang Ramadhan harga naik, karena para produsen dan penjual mengantisipasi peningkatan demand.

Konsumerisme meningkat tentu ada aspek positifnya juga. Kantor-kantor banyak mengadakan acara buka puasa bersama, yang bisa mempererat komunikasi dan silaturahmi karyawan dan bos-nya. Saya bilang, ya jangan bulan Ramadhan saja atuh, kalo mau silaturhami.

Secara esktrim saya ingin katakan, bulan Ramadhan beberapa tahun terakhir seolah menjadi bulan pesta. Bukan pesta spiritual atau ibadah, tetapi pesta belanja dan konsumerisme. Bukan hanya bahan makananan yang menjadi cermin konsumerisme selama Ramadhan seperti contoh saya diatas. Amazingly, almost  anything barang yang dijual di Indonesia selama bulan Ramadhan meningkat, termasuk mobil, motor, TV, HP. Orang bisa saja mengkaitkan peningkatan penjualan mobil karena dipakai untuk pulang kampung menjelang lebaran. Balik lagi, bukankah justru hakekat Ramadhan adalah menahan nafsu duniawi. Beli mobil untuk pulang kampung, bukan untuk pamer kekayaan atau keberhasilan, kan?

Ada lagi fenomena yang memprihatinkan, yakni acara-acara TV khususnya saat sahur, dini hari. Hanya sedikit TV yang menawarkan acara yang relevan dengan bulan Ramadhan, kebanyakan hanya berisi banyolan. Kalopun ada acara-acara rohani, hanya bagian kecil segment, dan rationale-nya simpel, acara rohani gak laku iklan. Ramadhan tentu boleh-boleh saja dihadapi dengan relaks, tetapi bukan berarti tidak serius.

Saya cuma kuatir, makin lama, kehidupan beragama menjadi semakin kering. Ritual keagamaan tidak dipahami konteks maupun filosofinya, pada akhirnya hanya akan menjadi upacara. Jika sudah seperti itu, ritual agama dianggap sebagai beban dan akan ditinggalkan. Agama menjadi tidak penting dan kesannya membuang-buang waktu, karena jika tujuannya hanya menjadikan diri kita lebih baik tidak perlu report menahan lapar dan minum.  Persis seperti aksioma yang sekarang berlaku dibarat ”Spiritual but not religious”.

Padahal jelas agama adalah jalan menuju Tuhan. Tanpa agama, manusia mungkin bisa menemukan kebaikan tetapi tidak akan menemukan Tuhan.

Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com

PS.
Sebagai tambahan Ramadhan memunculkan organisasi yang merasa memiliki kuasa, karena Ramadhan menjadi polisi moral. Ngobrak-ngabrik tempat hiburan, menegur langsung orang yang makan minum siang hari (padahal belum tentu dia muslim) dll.  Saya juga tak suka dengan kemaksiatan, baik selama atau diluar Ramadhan. Akan tetapi bagi saya, polisi moral swasta malah membuat gaduh dan mengurangi kekhusyukan. Ya kalo polisi sungguhan dianggap gak mampu, bagaimana jika kita doakan rame-rame saja...?