Minggu, 23 Desember 2012

Selamat Natal


Saya gak bermaksud sotoy, apatah ilmu saya dibandingkan para ulama ahli hadist, ahli tafsir, ahli segala macam dibidang ilmu agama Islam. Untuk sekedar mendekatkan diri pada Illahi dan mencoba menerapkan sifat Illahiah-nya, saya sudah terseok-seok. Saya cuma merasa terganggu dengan fatwa MUI baru-baru ini, soal larangan mengucapkan selamat Natal… http://www.tempo.co/read/news/2012/12/20/173449329/MUI-Umat-Islam-Tidak-Usah-Ucapkan-Selamat-Natal

Walau banyak tokoh nasional muslim seperti pak Jusuf Kala yang  terang-terangan menentang fatwa ini http://www.tempo.co/read/news/2012/12/20/078449400/JK-Abaikan-Fatwa-MUI-Soal-Ucapan-Selamat-Natal. Bahkan Gus Sholah, yang jelas2 memimpin salah satu pondok pesantren terbesar di Indonesia dan tokoh NU juga tidak mendukungnnya http://www.hidayatullah.com/read/26450/21/12/2012/mui-larang-muslim-ucapkan-selamat-natal,-gus-sholah-justru-bolehkan.html
Tetap saja bagi saya seruan berlabel fatwa ini tak mengenakkan hati.  Di dunia maya, dan saya yakin dalam banyak pengajian maupun khutbah Jum’at di Indonesia, seruan MUI ini disambut  para muslim “garis saklek.

Sekali lagi, saya tegaskan ketidak-inginan mengklaim diri saya seorang alim ahli agama. Akan tetapi dari penelusuran saya mengenai issue ini, umumnya yang melarang pengucapan selamat natal dengan alasan:
1. Mengucapkan selamat Natal artinya sama dengan setuju dengan ajaran, bahwa mengenai ketuhanan Kristus (p.s dalam agama Islam, Kristus adalah seorang nabi, yakni Isa A.S)
2. Mengucapkan selamat Natal artinya ikut serta dalam ritual keagamaan yang menyertai perayaan natal tersebut

Bahwa ikut serta dalam ritual agama orang lain adalah perbuatan keliru (atau “haram” menurut status hukum dalam Islam) saya setuju. Tolerasi antar umat beragama merupakan kunci peradaban, namun mencampur-baurkan ajaran agama, saya kira justru antithesis. Bagi saya, partisipasi dalam ritual agama orang lain, termasuk dalam mencampur-baurkan agama (Referesi Qur’an Al Kafirun : 6…”Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." ).

Konsistensi dalam beragama  (“istiqomah”) dan menjalankan secara utuh ajaran agama ("kaffah")  sangat penting dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan. Rationale sederhana ini menguatkan keyakinan saya, bahwa bagi saya larangan pengucapan natal (atau perayaan lain dari keimanan lain) bentuk inkonsistensi pelaksanaan ajaran agama Islam.

Tuhan menciptakan manusia berjenis-jenis ras, budaya dan agama. Jika Tuhan kehendaki, bisa dari awal Tuhan menciptakan manusia beragama Islam semua atau Kristen semua, atau Hindu semua. Terang benderang Allah menjelaskan “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujarat; 13)

Ayat Qur’an diatas tak perlu rocket science, untuk paham bahwa Allah sendiri yang menginginkan keragaman, yang tujuannya “supaya kamu saling kenal mengenal”. Ini merupakan key success factor untuk menjadi “yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa”.
Oleh karena saling kenal mengenal disini, harus dipahami dalam arti yang luas, maka menurut hemat saya, jika mengucapkan selamat natal adalah bagian dari upaya untuk saling kenal mengenal, dilarang.... terus bagaimana cara mencapai taqwa?

Untuk saya, mengucapkan natal adalah implementasi dari perbuatan baik, yang tak mungkin bisa dibantah termasuk perintah agama: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8). Bahwa ucapan natal tidak dan tidak akan pernah berarti setuju dengan aspek aqidah dari ajaran Kristiani...toh sebangun dengan itu ucapan Iedul Fitri dari umat Kristiani, tidak serta merta kawan-kawan itu sepakat dengan aspek Aqidah dari Iedul Fitri bukan?

Perayaan hari besar keagamaan adalah bagian tradisi umat, bangsa dan keluarga di Indonesia. Jika umat Islam tidak mengucapkan selamat natal pada kawan-kawan Kristiani, jangan marah juga dan apalagi berharap-harap bahwa mereka akan mengucapkan Selamat Lebaran kepada muslim. Sesuatu gejala yang belakangan ini makin mengemuka……

Terakhir, "Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu"  (QS An Nissa: 126).

Selamat Natal 2012, bagi kawan-kawan yang merayakan.

Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com

Jumat, 19 Oktober 2012

7 Habits, antara Prinsip dan Etika


Dengan alasan merupakan mandatory training untuk setiap karyawan, walaupun sudah pernah  mendapatkan training itu sebelumnya, akhirnya saya mengikuti lagi pelatihan “7 Habits for Highly Effetive People” (7 Habits), minggu lalu. Untuk kali ketiga ini, kawan-kawan di kantor secara bergurau mengatakan , “Berarti ente punya 21 habits”…wwkkk…. Jujur, saya awalnya rada skeptikal ketika mengikuti pelatihan ini lagi. Akan tetapi saya teringat perkataan seorang rekan kuliah, “Setinggi-tingginya ilmu elo bro, itu cuma setitik dari ilmu pengetahuan yang dikuasai umat manusia sedunia”.  Saya juga ingat nasihat dosen saya yang bilang, “Tingkat intelektual seseorang tercermin dari kemampuannya untuk meng-compare dan meng-contrast pendapat maupun teori yang pernah dibaca atau didapatkan. Yang kemudian disarikan, bahkan mungkin dibuat sintesa menjadi teori baru atau paling tidak pengetahuan baru”. Dengan berbekal mental seperti itu, saya datang ke acara pelatihan 2 hari itu, duduk manis dan mendengarkan penjelasan fasilitator yang kebetulan seorang wanita muda.

Saya tak ingin cerita mengenai bagaimana pelatihan tersebut dilaksanakan atau menggambarkan cara fasilitator cantik (dan konon single ....wkwkwk) menyampaikan materinya. Tidak pula berusaha menjelaskan kembali pengertian 7 Habits, yang pertama kali dipopulerkan Stephen Covey (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Seven_Habits_of_Highly_Effective_People). Saya ingin membagi suatu view mengenai 7 Habits ini, yang mungkin sudah banyak orang memahaminya tetapi saya yakin banyak pula yang belum.

Dari judulnya “7 Habits”, maka itu adalah 7 kebiasaan yang menurut Covey disarikan dari hasil penelaahan literature dalam kurun 200 tahun, yang memastikan orang yang mengamalkannya dengan konsisten akan memiliki karakter “effective people”. Covey mengartikan efektif sebagai kemampuan menghasilkan hal-hal baik dalam hidup secara terus menerus. Saya memahami bahwa bagi Covey untuk menjadi sukses people harus menjadi effective people. Covey memang tidak mengungkapkan ukuran sukses itu apa, hanya dia menjelaskan diakhir bukunya bahwa sukses adalah soal legacy orang tersebut ketika hidup. Kesuksesan sebangun dengan cara pandang orang lain terhadap kontribusi positif  kita terhadap hidup orang lain.

7 Habits bermula dari fikiran. Dengan Covey mengkutip nasihat Samuel Smiles (Sow a thought, and you reap an act; Sow and act, and you reap a habit; Sow a habit, and you reap a character; Sow a character; and you reap a destiny), dia setuju mengenai pentingnya fikiran seseorang dalam bertindak, yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter. Fikiran merupakan resultante dari proses berfikir, yang dilakukan menggunakan software tertentu, disebut paradigma. Secara singkat paradigma diilustrasikan seperti peta atau cara pandang, cara menafsirkan dunia sekitar. Covey mendorong orang untuk memiliki paradigma yang benar. Pardigma yang benar adalah pardigma yang sesuai ”prinsip”. Sedangkan prinsip diartikan sebagai hukum-hukum alam yang terbukti dengan sendirinya.

Saya menemukan singgungan antara konsep prinsip ala Covey dengan konsep etika (ethic) yang menjadi bidang kajian riset saya. Sederhananya etika didefinisikan sebagai  standar moralitas yang menentukan bagaimana seseorang menjalani hidupnya atau dalam mengambil keputusan. Etika berkaitan dengan hal-hal yang baik bagi individu dan masyarakat. Etika yang sesungguhnya  berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya tadisi, kebiasaan atau karakter (http://www.bbc.co.uk/ethics/introduction/intro_1.shtml).

7 Habits pada dasarnya teknik membentuk karakter pribadi (Covey menggunakan istilah personal victory) yang kemudian diaplikasikan kedalam hubungan dengan orang lain (Istilahnya public victory).  Dari pengertian etika yang saya kutip diatas, saya ingin menggaris bawahi aksioma: ”hubungan dengan orang lain” diperlukan etika. Berbeda dengan Covey yang bilang bahwa 7 kebiasaan itu harus dibangun berdasarkan hukum alam yang berlaku universal dan abadi (istilah yang dipakai Covey ialah ”prinsip”). Sedangkan bagi saya, etika tidaklah bersifat universal apalagi abadi. Etika seiring sejalan dengan tradisi, budaya, kesepakatan kelompok-kelompok manusia dimana etika tersebut berlaku.

Saya yakin bahwa aplikasi 7 Habits di Indonesia oleh orang Indonesia tentu berbeda dengan aplikasi 7 Habits di USA oleh orang USA. Alasannya etika orang Indonesia bisa berbeda dengan orang USA. Covey sedikit banyak mengakui adanya ”gap” ini ketika dia bilang bahwa implementasi 7 Habits memerlukan habibat atawa komunitas. Dia menyarankan diseminasi 7 Habits melalui konsep memperluas cycle of influance (lingkaran pengaruh) dan cycle of concern (lingkaran kepedulian) yang dilakukan oleh seorang implementor atau pelaku 7 Habits dan  menyebutnya sebagai agent of change.

Saya hendak membawa diskusi ini lebih jauh dengan membuat asumsi dan komparasi. Oleh karena saya memahami  7 Habits adalah tools alias alat untuk mencapai kehidupan yang efektif. Walaupun sesungguhnya saya belum pernah nemu penelitian empiris yang membuktikan bahwa pelaku 7 Habits ini benar-benar menjalani hidup yang efektif he he he... . Maka etika yang dianut pelaku menjadi penting dan menentukan corak implementasi 7 Habit. Mudahnya ketika etika barat yang dipakai akan berbeda dengan ketika pelaku menggunakan etika busidho atau etika konfusian atau bahkan etika Islam.

Sebagai contoh salah satu etika Islam dikenal  ihsan (atau ”Benovolence”)  yang artinya dalam setiap hubungan dengan orang lain harus diperlakukan sebagai hubungan yang bersifat personal, tidak diskriminatif, menyampingkan kepentingan pribadi atau keuntungan jangka pendek. Ihsan juga mengandung makna kedermawanan dan niat baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Jika etika ihsan dipakai sebagai paradigma dalam mengimplementasi ”Synergize”, maka ihsan akan menjadi distinctive factor dibandingkan jika menggunakan etika lain. Synergize adalah soal membangun team work, dengan ihsan maka hubungan diantara anggota tim menjadi hubungan pribadi. Synergize dengan ihsan memastikan tercapainya greater objective yaitu keuntungan jangka panjang yang sifatnya berkelanjutan. Sebagai tambahan, ciri khas kedermawanan didalam ihsan membentuk sinergy yang bukan saja bermafaat bagi anggota tim dan tim itu sendiri melainkan kepada komunitas diluar tim.

Menutup tulisan ini, saya malah membayangkan 7 Habits yang dijalankan berdasarkan etika Islam bisa menjadi mencapai lebih besar dari tujuan 7 Habits a’la Covey, dalam hal ini membentuk effective people, melainkan manusia yang bertaqwa. ”Taqwa” is greater than ”effective”. Karena seperti Covey bilang, tujuan effective people adalah dapat meninggalkan legacy kepada orang lain. Sedangkan tujuan manusia bertaqwa adalah ridho Allah SWT.

Walahu'alam.

Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com

Senin, 30 Juli 2012

Ujian

Hari ini 30 Juli 2012, saya baru saja melampaui suatu ujian yang sangat penting. Ini ujian berupa qualification examination dari pendidikan akademis yang saya tempuh dua tahun belakangan. Ujian ini menentukan, apakah saya berhak untuk terus ikut dalam program kuliah tersebut atau harus dropped out.

Seperti yang saya bilang diatas saya berhasil melampaui. Sengaja pakai istilah yang aneh begitu, bukannya kata lulus atau pass. Melampaui, karena bagi saya ini cuma rintangan pertama, masih ada ujian dan atau rintangan lain yang tak kalah beratnya. Ujian yang baru saya lampaui ini cuma butuh waktu kerja keras selama 1 tahun  dan menguras mental selama 2 bulan terakhir. Dimana harus menghadapi 2 kali ujian, karena yang pertama saya dianggap tidak berhasil alias gagal dan diminta mengulang. Barulah yang kedua ini, saya dianggap sudah memenuhi syarat untuk "qualified' hanya dengan nilai A minus.

Boleh dikatakan saya habis-habisan dalam urusan ini. Ibaratnya, fikiran pun tak lagi fokus kepada urusan pekerjaan, dibagi dua dengan urusan kuliah ini. Bagi saya, ini memang bukan main-main, karena ada sesuatu yang ingin saya capai.

Kata orang, jika seseorang hendak naik ke level lebih tinggi, maka ia harus bisa melampaui suatu ujian tertentu. Di perguruan silat seperti itu, di perguruan tinggi seperti itu, dikehidupan nyata seperti itu.

Dalam ajaran agama, istilah "ujian" adalah konsep yang penting. Dikatakan bahwa manusia hidup harus melalui berbagai macam ujian. Jika berhasil, maka surga menantinya, dikehidupan berikutnya. Jika gagal, maka neraka menjadi hadiahnya. Konsep ujian bukan konsep sederhana. Disampaikan bahwa  jika Allah menghendaki agar salah satu hamba-Nya naik derajat ke "maqom" yang lebih tinggi, maka Allah menurunkan ujian bagi hamba-Nya itu. Bentuk ujian bisa macam-macam, dari mulai harta (ujian enak), penyakit, musibah (ujian tidak enak). Akan tetapi hebatnya Allah, ujian yang diturunkan itu telah di-customize sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Tinggal  hamba-Nya itu, mau lulus atau tidak. Maha Besar Allah, mau meningkatkan derajat hamba-Nya saja, Allah mau report memastikan bahwa hamba tersebut bisa lulus.

Berbeda dengan ujian yang baru saya lewati. Mana ada ujian disesuaikan dengan yang saya sudah kuasai. Jika ada materi yang kebetulan belum saya baca atau sudah saya baca namun pemahaman saya berbeda dengan penguji, tidak lulus lah saya. Bisa juga kesialan menimpa saya jika misalnya penguji lagi bad mood karena berkelahi dengan istrinya, atau bidang keilmuan si penguji tidak sesuai dengan materi ujian. Sehingga dia bertanya sesuai dengan persepsi sendiri. Kacau kan?

Manusia itu aneh. Dalam kehidupan dunia, semisal saya dengan studi saya, sangat berambisi agar bisa lolos dengan ujian-ujian, dengan nilai setinggi  mungkin. Berapa puluh journal ilmiah yang saya sudah baca? textbook yang saya buat resume-nya? setumpuk data yang saya buat analisis-nya? begitu inginnya saya mencapai nilai A sempurna. Bahkan yang lebih aneh, saya "nantang-nantang" agar saya bisa segera diuji karena sudah merasa siap.

Bagaimana dengan ujian Allah? ah, saya berusaha menghindari. bahkan dalam doapun, dengan selfish saya memohon"Ya Allah hindari hamba dari ujian-Mu. Jika Engkau hendak memberi hamba ujian, maka hendaklah sesuai dengan kemampuanku". Padahal, mana mungkin tanpa ujian manusia bisa naik kelas? Bukankah seharusnya saya berdoa, "Ya Allah ujilah hamba. Ayo dong Allah, hamba kan ingin Engkau naikkan derajat hamba di samping-Mu. Hamba sudah siap kok Allah".

Kalo kita bisa berambisi dengan bentuk-bentuk ujian duniawi, kenapa kita tidak berambisi dengan ujian Allah. Notabene, ujian Allah, jika lulus tidak terukur imbalannya, dibandingkan hasil dari ujian dunia. Walahu'alam.

 
Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com

Kamis, 05 Juli 2012

Bulan Ramadhan a.k.a Bulan Puasa


Kurang lebih 2 minggu lagi umat muslim akan memasuki bulan Ramadhan. Tanggal persisnya, untuk kawan-kawan “penggembira” Muhamadyah mulai 22 Juli 2012, sedang yang lain menunggu pengumuman Pemerintah c.q Menteri Agama. Tebakan saya sih, 1 Ramadhan versi Pemerintah akan mulai tanggal 21. Akan tetapi bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan attitude, behavior, gampangnya culture kita, muslim Indonesia dalam menghadapi dan ketika bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ibadah. Yang utama selain ibadah reguler lainnya, yakni berpuasa, mulai waktu Shubuh sampai berkumandang adzan Maghrib. Arti berpuasa, yang paling sederhana  adalah menahan lapar dan dahaga serta hubungan badan. Dalam definisi  yang lebih kompleks, berpuasa sebenarnya menahan nafsu duniawi termasuk amarah dan berlatih meningkatkan kualitas ibadah baik yang sifatnya ritual maupun hubungan baik dengan sesama manusia. Bulan Ramadhan ini, penuh rahmat, ampunan dan petunjuk Allah SWT, kesempatan bagi muslim untuk meningkatkan kualitas spiritual, bertafakur dan merenung segala perbuatan maupun tindakan bulan-bulan sebelumnya. Dengan harapan, dapat menjalankan praktek kehidupan yang lebih baik setelah Ramadhan. Singkat kata bulan Ramadhan, merupakan bulan istimewa.

Sayangnya keistimewaan Ramadhan identik dengan berbagai hal yang kurang pas, dan terus terang sebagai muslim saya agak malu. Saya kemukakan beberapa contoh dibawah ini.  Bukannya sok tahu atau sok suci, melainkan semata berharap agar menjadi positive internal critic. Mumpung masih 2 minggu lagi, siapa tahu tulisan ini menjadi pemicu Ramadhan bagi kawan-kawan Muslim, yang lebih baik.

Memang secara fisik, karena tak makan dan minum disiang hari, puasa jelas tantangan yang cukup berat. Tetapi toh ini bulan spritual, bagaimana mungkin bisa meningkatkan kualitas spiritual jika tantangan fisik dijadikan alasan untuk misalnya mengurangi produktifitas kerja? Datang kekantor lebih siang dan pulang lebih cepat? Acara-acara workshop dan seminar biasanya dihindari selama Ramadhan. Entah dengan alasan tidak dapat snack atau kencederungan mengantuk karena perut kosong. Bukankah seharusnya Ramadhan menjadi kesempatan muslim mengumpulkan pahala dan berkat sebanyak-banyaknya? Bekerja adalah ibadah, pasti pahalanya melimpah selama ramadhan kenapa harus dikurangi, justru?

Saya seringkali gak enak terutama dengan rekan-rekan non muslim. Mereka malah harus bertoleransi kepada yang sedang berpuasa. Harus maklum jika rekan kerja atau anak buahnya berlambat-lambat dan mengantuk atau pulang lebih cepat. Kesannya Ramadhan malah jadi penghambat. 

Yang lebih parah, Ramadhan mendorong konsumerisme. Belanja dapur lebih banyak, kontradiksi dengan perintah puasa yang justru seharusnya bisa mengurangi porsi makan. Banyak informasi di TV atau media yang bilang bahwa untuk dapat berpuasa dengan lancar maka asupan gizi harus dijaga. Ini diartikan sebagai belanja!! Yang tadinya gak minum susu, jadi beli susu. Yang tadinya makan daging seminggu sekali, ini jadi tiap hari. Yang tadinya gak tiap hari makan telur, pas puasa minimal 2 butir, dan seterusnya. Katanya bulan puasa salah satu tujuannya agar bisa menghayati kehidupan orang tak punya, yang terjadi malah jor-joran. Tak heran jika menjelang Ramadhan harga naik, karena para produsen dan penjual mengantisipasi peningkatan demand.

Konsumerisme meningkat tentu ada aspek positifnya juga. Kantor-kantor banyak mengadakan acara buka puasa bersama, yang bisa mempererat komunikasi dan silaturahmi karyawan dan bos-nya. Saya bilang, ya jangan bulan Ramadhan saja atuh, kalo mau silaturhami.

Secara esktrim saya ingin katakan, bulan Ramadhan beberapa tahun terakhir seolah menjadi bulan pesta. Bukan pesta spiritual atau ibadah, tetapi pesta belanja dan konsumerisme. Bukan hanya bahan makananan yang menjadi cermin konsumerisme selama Ramadhan seperti contoh saya diatas. Amazingly, almost  anything barang yang dijual di Indonesia selama bulan Ramadhan meningkat, termasuk mobil, motor, TV, HP. Orang bisa saja mengkaitkan peningkatan penjualan mobil karena dipakai untuk pulang kampung menjelang lebaran. Balik lagi, bukankah justru hakekat Ramadhan adalah menahan nafsu duniawi. Beli mobil untuk pulang kampung, bukan untuk pamer kekayaan atau keberhasilan, kan?

Ada lagi fenomena yang memprihatinkan, yakni acara-acara TV khususnya saat sahur, dini hari. Hanya sedikit TV yang menawarkan acara yang relevan dengan bulan Ramadhan, kebanyakan hanya berisi banyolan. Kalopun ada acara-acara rohani, hanya bagian kecil segment, dan rationale-nya simpel, acara rohani gak laku iklan. Ramadhan tentu boleh-boleh saja dihadapi dengan relaks, tetapi bukan berarti tidak serius.

Saya cuma kuatir, makin lama, kehidupan beragama menjadi semakin kering. Ritual keagamaan tidak dipahami konteks maupun filosofinya, pada akhirnya hanya akan menjadi upacara. Jika sudah seperti itu, ritual agama dianggap sebagai beban dan akan ditinggalkan. Agama menjadi tidak penting dan kesannya membuang-buang waktu, karena jika tujuannya hanya menjadikan diri kita lebih baik tidak perlu report menahan lapar dan minum.  Persis seperti aksioma yang sekarang berlaku dibarat ”Spiritual but not religious”.

Padahal jelas agama adalah jalan menuju Tuhan. Tanpa agama, manusia mungkin bisa menemukan kebaikan tetapi tidak akan menemukan Tuhan.

Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com

PS.
Sebagai tambahan Ramadhan memunculkan organisasi yang merasa memiliki kuasa, karena Ramadhan menjadi polisi moral. Ngobrak-ngabrik tempat hiburan, menegur langsung orang yang makan minum siang hari (padahal belum tentu dia muslim) dll.  Saya juga tak suka dengan kemaksiatan, baik selama atau diluar Ramadhan. Akan tetapi bagi saya, polisi moral swasta malah membuat gaduh dan mengurangi kekhusyukan. Ya kalo polisi sungguhan dianggap gak mampu, bagaimana jika kita doakan rame-rame saja...? 

Kamis, 28 Juni 2012

Sidang Isbath


Mulai tahun ini Muhammadyah tidak mengikuti sidang Isbath, yakni sidang yang diselenggarakan Menteri Agama RI untuk menetapkan awal puasa dan Iedul Fitri. Menurut pak Din Syamsuddin Ketum Muhammadyah, sidang isbath itu lebih banyak berisi pikiran-pikiran subyektif pemerintah. Selain itu tidak ada musyawarah dan tidak ada diskusi. Pak Din juga menuding pemerintah tidak mengayomi seluruh umat Islam di Indonesia, termasuk yang berbeda pendapat http://nasional.vivanews.com/news/read/330354-tahun-ini-muhammadiyah-tak-ikut-sidang-isbat

Saya kok merasa Muhamadyah masih tidak bisa menerima hasil sidang Isbath tahun 2011 lalu, yang seolah-olah pendapatnya minoritas, kemudian dikalahkan oleh Pemerintah. Apalagi tahun lalu ada seorang pakar astronomi Prof. Thomas, yang dengan sangat cair dan mudah dicerna memaparkan argumentasi yang salah satunya mengatakan bahwa asumsi yang dipakai Muhammadyah selama ini dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal sudah usang. Sehingga hasil perhitungannyapun tidak akurat http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/
Kecurigaan saya ini bukannya tanpa dasar, karena ketidaknyamanan terhadap Prof. Thomas jelas nampak dan tak segan diutarakan. Contohnya apa yang disampaikan mas Saleh Partaonan Daulay, Ketua PP Pemuda Muhamadyah yang juga dosen UIN Jakarta. Bagi saya aneh aja mas Saleh ini, bukannya adu wacana dari sisi metode science yang dipakai, malah mengkritik soal cara bicara dan bahkan dibilang cakrawala befikirnya harus diperluas http://www.pemuda-muhammadiyah.or.id/component/content/article/1779-kalimatnya-tidak-cerdas-cakrawala-berpikir-prof-thomas-djamaluddin-harus-diperluas.html

Dilain pihak pak Din menyatakan bahwa Muhammadyah dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menggunakan metode astronomi, yang sudah teruji dan bahkan 1  Ramadhan serta 1 Syawal untuk 100 tahun kedepan sudah ditentukan. Saya kutip ,”Kami sudah bisa menetapkan awal puasa, juga hari raya, sampai 100 tahun ke depan. Hal itu karena kami memiliki rumus esakta, seperti astronomi dan falak, sehingga sidang isbath tidak diperlukan lagi oleh kami” http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/19425141/Mulai.Tahun.Ini.Muhammadiyah.Tidak.Ikut.Sidang.Isbat. lebih lanjut beliau bilang “Al Quran menyuruh kita untuk pandai berhitung” http://nasional.vivanews.com/news/read/330354-tahun-ini-muhammadiyah-tak-ikut-sidang-isbat

Analisis saya yang cetek justru menemukan gapnya disini. Prof Thomas bilang, asumsi yang dipakai Muhammadyah sudah tidak tepat. Muhammadyah bilang, metodenya sudah teruji dan menolak untuk meninjau asumsi yang dipakai. Sedangkan soal metode, kita tidak sangsikan keduanya menggunakan ilmu Astronomi. Jadi ini soal asumsi yang dipakai…siapa yang benar?

Saya bukan ahli astronomi, saya tak tahu siapa yang benar. Saya cuma bisa mengasumsikan asumsi yang benar. http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/ 

Tidak usah jadi ahli syariah atau Professor Astronomi untuk tahu prinsip-prinsip dasar dalam science. Harap diingat bahwa dalam agama yang diatur adalah prinsip “hilal”, nah manusia mengintepreasikan prinsip “hilal” ini dengan menerapkan asumsi-asumsi yang murni buatan manusia jaman kini. Saya setuju dengan pak Din, bahwa metode perhitungannya eksak dan baku, jadi itu gak usah diperdebatakan. Tetapi soal asumsi? Kenapa enggan meninjaunya? even pak Thomas Cuma bilang asumsi usang, alias sudah lama tidak dipakai, bukan berarti salah….http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/

Saya ini sebenarnya Muhammadyah asli. Cara saya shalat dan menerapkan berbagai macam ritual agama, mengikuti cara-cara Muhammadyah. Bahkan saya pernah menjadi pengurus organisasi pelajar dibawah Muhammadyah (tingkat propinsi waktu itu). Akan tetapi kali ini saya agak heran, dengan sikap Muhammadyah yang tercermin dari komentar pak Din. Bukankah Muhammadyah mengklaim dirinya sebagai gerakan pembaharuan? Kenapa alergi dengan pembaharuan…. Bukankan agama Islam mengharuskan silaturahmi? Bukankah ukhuwah penting? Apa yang disampaikan pak Din, seperti bermain politik tarik ulur. Muhammadyah jangan hanya mikirin member atau massanya saja, tetapi mikir umat Islam se Indonesia…. Apa yang diperbuat kali ini menambah kebingungan.

Seharusnya langkah seperti yang pernah ditempuh Muhammadyah misalnya berpartisipasi dalam  Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat dan upaya untuk menemukan titik temu terus  dilanjutkan http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=148:munas-sepakati-kalender-islam-tunggal&catid=9:kub&Itemid=202. Disitu jelas kok disebutkan bahwa titik temu (dalam menentukan asumsi) belum tercapai. Ya diusahakan dong. Apa memang sama sekali buntu? terus mutung meninggalkan gelanggang, dan membiarkan kegaduhan terjadi?

Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com

Kamis, 21 Juni 2012

Coffee Story


Ada banyak acara di Televisi kita, ratusan jumlahnya. Akan tetapi hanya 1 atau 2 yang benar-benar saya nantikan penayangannya, karena memang sangat bagus. Salah satu acara yang saya maksud adalah Coffee Story di Kompas TV tiap Salasa malam. Alasannya tentu karena saya maniak kopi, namun lebih dari itu, acara ini menimbulkan kebanggaan dan kecintaan akan khazanah kekayaan hayati negeri yang namanya Indonesia ini.

Ngomong-ngomong soal kopi, secara umum jenis kopi dibagi menjadi dua, Robusta dan Arabica (masih ada dua jenis lagi sebenarnya kopi liberica dan kopi excelsa, yang agak sulit dijumpai). Kopi Arabica (yang tumbuh diketinggian 800-1000 dpl) dibagi menjadi dua katagori, yakni commercial arabica dan exotic arabica. Indonesia memang bukan produsen commercial arabica terbesar didunia, namun penghasil exotic arabica terbesar didunia. Sedangkan Robusta tumbuh didataran lebih rendah. Kopi Arabica dianggap lebih berkualitas daripada Robusta.

Ada 6 exotic arabica asal Indonesia; Gayo dari Aceh, Mandheling dari Sumatera Utara, Java dari pulau jawa utamanya Jawa Timur, Kintamani dari  Bali (kampung halaman saya), Toraja atau Kalosi dari Sulawesi dan Mangkuraja ini jenis baru dari Bengkulu. Diwarung kopi cap ikan duyung (Starbucks) pernah dijual kopi Sumatera (brewed coffee), konon ini adalah jenis Gayo dan Mandheling (mereka menganggap 1 type saja, no wonder taste-nya kadang sedikit berbeda). Ada juga yang menambahkan jenis kopi exitoc ini yakni kopi wamena yang ditanam di Pegunungan dekat Wamena, Papua. Konon (saya sendiri belum pernah coba), rasanya mirip Blue Mountain (satu-satunya exotic arabica yang dihasilkan oleh negara non Indonesia, yakni Jamaica).

Selain 6 atau 7 jenis exotic coffee asal Indonesia, masih ada tipe kopi lain…saya katakan tipe, bukan jenis, karena mungkin secara jenis masuk kedalam 6 -7 diatas namun tetap spesifik. Yang pertama adalah kopi lanang, yang biji kopinya bulat (tidak belah) dihasilkan dari Jawa Timur, konon untuk vitalitas (bedakan dengan kopi tongkat ali asal Malaysia, yang merupakan kopi dicampur ramuan herbal untuk vitalitas). Yang berikutnya adalah kopi luwak, kopi tereksotik didunia dan termahal (sekaligus terjorok). Saya belum sempat banyak mencicipi kopi luwak ini karena harganya yang selangit, sehingga belum bisa membedakan jenis-jenisnya. Akan tetapi saya percaya bahwa kopi luwak sematera pasti berbeda dengan kopi luwak jawa. Ini yang harus terus didalami dan jika memungkinkan dikembangkan.

Terlepas dari itu semua….cerita mengenai perkopian, acara Kompas TV yang saya sebut diatas Coffee Story adalah contoh nyata dari yang namanya edutainment. Edukasi sekaligus menghibur (entertainment). Tentu berbeda dengan infotainment (yang konon artinya informasi dan entertainment), lebih banyak berisi informasi sampah (gosip, perceraian, artis belanja atau artis jalan-jalan) dibungkus sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa menghibur. Edutainment tidak atau kurang komersiil, hanya sedikit orang tertarik dengan acara seperti ini.

Makanya, saya harus angkat topi kepada group Kompas Gramedia pemilik Kompas TV yang berani sedikit banyak menanggalkan komersialitas demi sebuah idealisme mengenalkan tanah air ini kepada khalayak pemirsa Indonesia, yang nota bene pemilik dan pewaris syah tanah air Indonesia. Banyak acara serupa Coffee Story semisal Hidden Paradise, Teroka, Expedisi Cincin Api dan lain-lain, yang dibuat punggawa Kompas TV ini. Gambar-gambar yang disajikan bernuansa kuning (cerah), dengan tujuan menekankan aspek keindahan alam. Bagi saya, ini sangat menggugah.

Edutainment tidak banyak menghasilkan uang, mungkin malah merugi. Kecuali business modelnya dibuat mirip Discovery Channel group atau National Geographic, yang tak perlu iklan banyak-banyak, karena hanya bisa disaksikan di TV berbayar (cable tv). Lha Kompas TV kan gratisan? Mereka terbalik, sebagian besar revenue mengandalkan iklan….mungkin sedikit ada pemasukan dari cable TV operator (semacam Indovision, Cable Vision dll) tetapi saya kira tak banyak. Kecuali jika Kompas TV go international dan mengekspor program-programnya (mirip Asian Food Channel (AFC), berbasis di Singapura kalo tak salah), mungkin bisa untung. Saya percaya Kompas TV bisa, karena kualitas program yang disajikan sangat, sangat baik.

TV jelas merupakan sarana yang sangat efektif untuk belajar, bagi kita orang dewasa, namun terutama untuk anak-anak. Orang tua seperti saya (dan teman-teman) disini seharusnya mendorong anak-anak hanya menonton acara-acara yang membawa manfaat bagi mereka. Selain itu, matikan saja TV itu. Yang saya rasakan sekarang TV, cuma jadi pendorong konsumerisme dan hiburan dangkal. Saya tahu, rakyat Indonesia ini beragam, gak semuanya makan sekolahan seperti saya atau Anda. Akan tetapi saya kira, pengelola TV bisa kok membuat acara-acara yang bertujuan membangun karekater bangsa Indonesia. Acara-acara musik, lawakan, infotainment dan sinetron (yang diputar sepanjang hari) hanya tepat untuk menciptakan generasi muda alay. Kompas TV telah membuat suatu pengecualian.

Sungguh suatu tag line yang tepat ”Kompas TV, inspirasi Indonesia”




Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com
Gak dibayar apapun sama Kompas.TV, melainkan kepuasan menonton acara-acaranya

Jumat, 15 Juni 2012

Alay....apakah itu?


Alay atau anak lebay… lebay berarti orang yang berlebihan.  Alay kalo demikian artinya anak-anak atau orang yang tindak tanduknya suka melebih-lebihkan.  Pokoknya gaya hidup yang cenderung  melebih-lebihkan. Konon mereka dapat dikenali dari cara berpakaian (korban mode, used worng custom in wrong occassion), selera musik (jenis Malay-sounding bands seperti  ST 12, Wali atau Kangen Band) dan yang paling ketara cara mereka menulis (cara nulis supaya kelihatan lebih keren). Menurut salah seorang rekan kerja saya, mau mengindetifikasi alay, lihat aja account face book-nya. Contoh Dh1k@ c@nt1eq 53k@l1, dibaca Dhika cantik sekali. Memberi nama account Dhika cantik sekali saja sudah berlebihan, ditambah cara nulisnya yang ajib.

Fenomena Alay,  dijumpai pada usia remaja dewasa, sekitar 16-25 tahun.  Yang terus terang bagi generasi saya, usia 38-45, cuma jadi bahan tertawaan. Kami gak ngerti sebenarnya gaya mereka, simply karena generation gap saja. Jadi jangan marah dulu para alay. Kami juga ngerti bahwa sebaliknya anda mentertawakan kami, sembari menyebut “para dinosaurus yang akan segera punah, tapi masih sombong”.

Alay mungkin cuma bagian perkembangan psikologis remaja dewasa yang tengah mencari jati diri. Tidak mengherankan jika diantara mereka, dan remaja seusia, alay atau bukan, menampilkan sesuatu dari dirinya yang berbeda dari orang lain, mendatangkan kebanggaan (contoh nama account face book diatas). Sayangnya, tanpa disadari bahwa perbedaan yang dipaksakan itu malah memuculkan keseragaman. Mulai cara berkomunikasi, bahkan mungkin attitude-nya pun seragam. Bagian generasi yang seragam, dari sisi tingkah laku, selera dll, biasa dalam khasanah ilmu sosial disebut “peers”, harafiah memang berarti rekan seangkatan.

Dari ilmu behavior didapatkan bahwa peers, sadar tidak sadar yang memiliki selera atau gaya yang sama akan mengelompok membentuk komunitas, dengan alasan keseragaman diatas.  Dengan adanya komunitas, maka identitas alay akan semakin menguat, yang saya kira sedikit banyak mempengaruhi para remaja ini ketika menginjak periode dewasa atau usia produktif.

Saya tidak bilang bahwa alay itu negatif.  Toh jaman saya dulu, ada juga remaja mellow atau kadang disebut “muka Rambo, hati Rinto”, ketika dewasa menjadi ornag-orang yang berhasil dalam hidupnya.  Tergantung kepada perjalanan hidup yang bersangkutan. Kemampuan yang bersangkutan untuk learn, relearn dan un-learn. Belajar sesuatu yang baru, selalu berusaha memperbaharui pengetahuan yang dipelajarinya. Dan kadang jika menemui kegagalan, dia belajar untuk melupakan atau larut dalam kegagalannya, untuk kemduian belajar lagi sesuatu yang baru. 

Saya mengansumsikan bahwa proses  siklus learn, relearn dan unlearn, para alay dan non alay, akan berbeda. Sifat melebih-lebihkan cenderung akan membuat seseorang defensive terhadap perubahan.  Padahal perubahan diperlukan untuk kemajuan, even perubahan negatif.  Apabila anda menerapkan filosofi learn, relearn dan unlearn, perubahan negatif bisa dengan segara dirubah menjadi positif. Disinilah justru letak perbedaan manusia dewasa dan belum dewasa (remaja dewasa, belum dewasa loch). Kedewasaan diukur dari kemampuan memaknai setiap pengalaman hidup yang dialami, menjadi sesuatu value yang akan meningkatkan kemampuannya menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi dikemudian hari.

Dengan asumsi seperti itu, bahkan ketika beranjak dewasa bentuk kepribadian anak-anak yang tadinya alay bisa serupa dengan anak-anak non alay dan atau sebaliknya. Peers dan komunitas memang mempunyai pengaruh, tetapi tak akan menjadi penjara “member”nya.  Peers dan indentitas hanya berfungsi sebagai rumah sementara, yang jika cocok akan terus ditempati, Jika tak cocok akan ditinggalkan

Tentu saja tidak semua yang memasuki usia remaja dewasa menjadi alay. Banyak yang berhasil mengembangkan kepribadian non alay. Saya pikir, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial lainnya significant mempengaruhi perkembangan kepribadian. Saya mencermati biasanya jika seorang remaja memiliki kegiatan diluar sekolah yang cukup, mereka akan membentuk kepribadian yang lebih positif.

Test ke alay-an anda…
qMoh tO crA bAc 1n"Y……m_tHa apOn YoH………qoH tLuZ”aN uCHA ………. bUD….. sYusah…………………


Bacaan lebih jauh :



Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com

Kamis, 14 Juni 2012

Magic Number: Kutak-katik Angka Untuk Mencapai Lebih 100% Dari Hidup Kita


Anda pasti sering menerima email atau informasi yang isinya seperti dibawah, yakni betapa menakjubkan ilmu matematika yang telah dikebangkan sejal awal peradaban manusia:

1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321

1 x 9 + 2 = 11
12 x 9 + 3 = 111
123 x 9 + 4 =1111
1234 x 9 + 5 = 11111
12345 x 9 + 6 = 111111
123456 x 9 + 7 =1111111
1234567 x 9 + 8 = 11111111
12345678 x 9 + 9 = 111111111
123456789 x 9 + 10 = 1111111111

9 x 9 + 7 = 88
98 x 9 + 6 = 888
987 x 9 + 5 = 8888
9876 x 9 + 4 = 88888
98765 x 9 + 3 = 888888
987654x 9 + 2 = 8888888
9876543 x 9 + 1 = 88888888
98765432 x 9 + 0 = 888888888

Canggihkan?
Coba lihat simetri ini :

1 x 1 = 1
11 x 11 =121
111 x 111 = 12321
1111 x 1111 = 1234321
11111 x 11111 = 123454321
111111 x 111111 = 12345654321
1111111 x 1111111 = 1234567654321
11111111 x 11111111 = 123456787654321
111111111 x 111111111 = 123456789876543 21

Masih ada yang lebih canggih dan hebat....coba perhatikan dengan baik, penjelasan berikut ini :

Dari sudut pandang Matematika, adakah yang lebih besar dari 100%? 
Jawabannya ada tentu saja.

Jika demikian, dalam kehidupan, apakah nilai 100% sudah cukup? Misalnya sering kita mendengar, saya mencintai kamu 100%....he he he... apakah sudah cukup?
Sesorang berkata "aku akan memberikan yang terbaik dari diriku"? maksudnya yang terbaik apa? 100% dari kemampuan kita, 100% dari usaha kita..... mungkinkah kita bicara "aku akan berikan 110% dari kamampuanku"..... Beranikah kita bilang "aku akan berusaha 110%"? Artinya saya  bisa memberikan lebih hebat dari kemampuan saya yang biasanya

Bagaimana ingin mencapai  lebih dari 100 %?

Mungkin sedikit formula matematika dibawah ini dapat membantu memberi jawabannya.

Jika A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Disamakan sebagai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Maka, kata KERJA KERAS
bernilai :
11 + 5 + 18 + 10 + 1 + 11 + 5 + 18 + 1 + 19 = 99%

H-A-R-D-W-O-R-K
8 + 1 + 18 + 4 + 23 + !5 + 18 + 11 = 99%

K-N-O-W-L-E-D-G -E
11 + 14 + 15 + 23 + 12 + 5 + 4 + 7 + 5 = 96%

SKILL
19 + 11 + 9+ 12 + 12 = 63

ACTION
1 + 3+ 20+ 9+ 15+ 14 = 62

A-T-T-I-T-U-D-E
1 + 20 + 20 + 9 + 20 + 21 + 4 + 5 = 100%

Dari sudut pandang matematika, kerja keras saja belum cukup. Knowledge saja tidak cukup. Skill saja masih kurang. ATTITUDE  is a must untuk mencapai 100% dari usaha atau hidup kita. 
Dengan kata lain, tanpa ATTITUDE yang positif didalam diri, kerja keras dan knlwledge,  masih belum cukup.

Kembali kepada pertanyaan, bagaimana mencapai lebih dari 100% ? 

Ternyata

LOVE OF GOD
12 + 15 + 22 + 5 + 15 + 6 + 7 + 15 + 4 = 101%

Jadi selain kerja keras dan attitude, maka mencintai Tuhan bisa jadi lebih penting, dengan alasan bahwa mencintai Tuhan merupakan ATTITUDE  YANG PALING PENTING.

Cukupkah? hanya 1% diatas kemampuan kita. Apakah ada kemungkinan mencapai lebih dari itu?
Sering kita mendengar orang bicara bahwa dia mencitai Tuhan dengan attitude yang positif, masih terasa ada yang kurang. Masih garing.....Apa itu?

Menurut saya mencintai Tuhan, harus pula disertai  aplikasi etika. Dalam hal ini etika adalah filter moral. Apapun yang kita kerjakan harus dalam platform moral yang baik. Aplikasi etika, berarti mengimplementasikan Love of God diatas dalam kehidupan sehari-hari. Saya menyebutnya sebagai kehidupan yang relegius.

Untuk mencapai hidup yang religius, etika atau filter moral yang  apa yang diperlukan? saya beri contoh dua etika yakni :

B E N O V O L E N C E
2+ 5 + 14 + 15 + 22 +15 + 12 + 5 + 14 + 3 + 5 = 112 %

Benovolence dalam bahasa arab dipersamakan artinya dengan istilah IKHSAN, dapat didefinisikan sebagai selalu berusaha untuk tetap berbuat kebaikan untuk orang lain, mendedikasikan hidupnya memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Jika perlu dengan mengenyampingkan kepentingan pribadi. Anda lihat dengan mengaplikasi Ikhsan dapat mencapai 112%.

Contoh etika lain yang adalah
S I N C E R I T Y
15+ 9 + 14 + 3 + 5 + 18 + 9 + 20 + 25 = 118 %

Sincerity dalam bahasa arab equivalennya adalah ikhlas, sering sekali kita dengar yang artinya kurang lebih melakukan perbuatan semata-mata karena itu diperintahkan Tuhan, hanya berharap kebaikan dari Tuhan, bukan pamrih atau pujian dari orang lain. Iklas adalah sikap tertinggi dalam hidup. Dengan sikap iklas apapun yang dilakukan atau nasib apapun yang menimpanya akan selalu mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Secara matematika, sikap Sincerity atau Iklas akan memungkinkan kita mencapai 118% dari hidup kita.

So, cinta kepada Tuhan (love of God) harus disertai  ihsan (benovolence) dan ikhlas (sincerity).

PERCAYA atau TIDAK, tetap ada nilai yang lebih tinggi lagi. Apa itu ? 
Ini menyangkut inti ajaran agama yakni percaya bahwa Tuhan itu Esa…TUHAN YANG MAHA TUNGGAL. Sikap ini dalam istilah arab dikenal dengan istilah Tawhid. Dengan memantapkan keimaman bahwa TUHAN itu MAHA TUNGGAL, serta merta yang namanya Hardwork, Love of God, Benovolence dan SIncerity akan inherent dalam hidup kita. Lihat perhitungan secara matematika berikut ini:

O N L Y  O N E  G O D
15 + 14 + 12 + 25 + 15 +13 + 5 + 7 + 15 + 4 = 125%



Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com

Senin, 11 Juni 2012

Pemimpin

Dalam perjalanan PP, Jakarta Bandung pagi ini, selintas kepikiran mengenai leader atawa Pemimpin. Terminologi ini belakangan menarik minat intektual saya. Pertama, secara ilmiah leadership atau kepemimpinan, adalah thema populer bagi para peneliti ilmu sosial. Yang kedua dalam keseharian, Pemimpin adalah orang yang sehari-hari kita hadapi. Selain itu, masing-masing kita merupakan Pemimpin, paling tidak dari keluarganya dan dirinya sendiri. So, it is very interesting....

Dari sisi teori, banyak sekali tipe maupun model kepemimpinan. Ah.. tapi saya tak hendak mengajak anda mengarungi khazanah literatur kepemimpinan, saya cuma mau menulis yang gampang-gampang saja. Misalnya, bagaimana tipe Pemimpin yang ideal bagi Anda? model kharismatik kah? model tranformasional kah? atau Pemimpin yang melayani (servant leader)? yang jelas, saya percaya pada teori bahwa Pemimpin tidak dilahirkan (born to be a leader)...melainkan diciptakan oleh situasi dan kondisi yang mendorong satu orang yang merupakan anggota dari suatu kelompok, mengambil inisiatif tertentu yang tepat, yang dibutuhkan sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi kelompok itu.

Bisa jadi, karena kebutuhannya, maka Pemimpin yang tercipta adalah Pemimpin bergaya otoriter dan dominan. Atau dilain situasi yang tercipta adalah Pemimpin yang melayani, atau kalo dalam bahasa Ki Hajar Dewantoro, Pemimpin yang berjiwa Tut Wuri Handhayani. Lalu apabila kita tarik ketas kelevel berbangsa dan bernegara, saya kira, teori yang saya kemukakan secara simple sebelumnya, bisa diterapkan.  Misalnya tipe kepemimpinan bung Karno dan pak Harto berbeda. Tak ada yang salah sebenarnya, situasi pada saat itu memang membutuhkan pemimpin bertipe seperti beliau-beliau. Makanya saya paling empet, kalo ada pihak atau kelompok yang gemar membandingkan antar keduanya...ini istilah in english-nya "not apple to apple" alias "apple to duren".

Pertanyaannya, tipe kepemimpinan apakah yang dibutuhkan NKRI dengan situasi kontemporer yang dihadapi? Saya kok merasa jawabannya sederhana saja.

Bangsa ini sudah pinter kok. Rakyat sudah tidak perlu lagi diajari gimana hidup dan survive ditengah himpitan ekonomi. Mereka membutuhkan sosok yang bukan hanya dekat, karena berasal dari kalangan mereka sendiri, tetapi yang paling penting, dapat memberikan inspirasi. Sayangnya, entah kesambet kemasan kampanye yang bagus, maka yang dianggap Pemimpin ideal disamping gagah, sayang keluarga, sabar dan pinter nyanyi... apa hubungannya dengan keberhasilan memimpin, coba? wkwkkwk

Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang dapat memberikan contoh, bahwa dirinya bisa susah seperti rakyatnya. Dia bisa memberikan inspirasi, karena tak mungkin bisa menciptakan solusi untuk semua masalah. Pemimpin yang tidak keminter, sehingga perlu bergaya deklamasi ketika berpidato. Bottom line....pemimpin yang melayani, bukannya minta dilayani. Pemimpin yang suka curhat dan mengeluh, jelas bukan sosok Pemimpin yang melayani...



Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com






Jumat, 08 Juni 2012

Ikhlas atawa Iklas

Kemarin saya baca status seseorang dimedia sosial, yang menulis "hatiku menangis, tetapi aku hadapi dengan senyuman dan keikhlasan". Well, sepintas kesan yang didapat bahwa yang bersangkutan sedang menghadapi masalah namun tak kuasa untuk menghindarinya dan harus ikhlas menghadapinya. Saya tak tahu apa masalahnya, tak berniat juga menanyakannya. Hanya statement dia ini yang menggelitik fikiran saya.

Pertama soal senyum. Satu pepatah yang juga bagian ajaran agama, dibilang "senyum adalah ibadah". senyum yang mana yang bisa jadi ibadah, apakah semua senyum? senyum yang manis? senyum tulus? senyum pura-pura? senyum asem?

Kedua soal ikhlas. Orang sering bicara ikhlas, tapi apakah mengerti artinya? Sebagian bilang ikhlas sama dengan tulus, artinya memberi tapi tidak menuntut balasan. Bagaimana jika seseorang penipu bilang, "Saya ikhlas, gak papa dosa karena menipu orang, tetapi yang penting saya dapat beli rumah dan sawah untuk keluarga saya".

Dari intisari ajaran agama, ada dua hal yang saya ingin tuliskan:
1. Nilai dari suatu amal, tergantung dari niatnya
2. Pada dasarnya semua orang sama, yang membedakan adalah derajat ketakwaan kepada Allah SWT.

Jika dua hal tersebut dibingkaikan dalam curhatan diatas, maka dapat disimpulkan. Bahwa sepanjang masalah yang dihadapi bersumber dari perbuatan atau amal yang disertai niat yang baik, maka senyuman itu menjadi ibadah. Sedangkan sikap ikhlas adalah wujud dari ketaqwaan. Taqwa artinya konsisten berusaha semaksimal mungkin melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.  Senyuman dan keikhlasan menjadi cerminan ketegaran seseorang untuk terus berusaha mencari jalan keluar apapun masalahnya.

Sebaliknya, jika masalah yang dihadapi bersumber dari hal-hal yang tidak baik, menipu orang, menyusahkan orang, ya tidak akan ada kebaikan apapun yang didapat dari sikap itu walopun diberi label senyum dan ikhlas. Sayangnya manusia senang hidup dalam kepura-puraan...pura-pura pinter tetapi bodoh. Bersikap jelek dan hianat kepada orang lain, tetapi berharap belas kasihan dan ampunan Allah. Menipu dan menyusahkan orang lain, tetapi berharap rejeki barokah yang mengalir lancar. Bersumpah palsu tetapi mengharapkan orang jujur kepadanya dan berharap Allah tidak menurunkan laknat padanya?

Hidup yang cuma sebentar ini, ngapain dibuat susah? jalan lurus-lurus saja. Membahagiakan orang tua, bertanggung jawab kepada keluarga, bekerja keras...memang harus disertai senyum dan iklhas. Intinya, ya itu jalan yang lurus-lurus saja. Bahasa agamanya.... "sirothol mustaqiem....."


Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com






Awalan

Ini bukan karena sedang galaw, nganggur atau apapun, trus kemudian membuat blog lagi, apalagi pakai nama sendiri. Di www.ahlikeuangan-indonesia.com, saya juga banyak menulis mengenai ekonomi, keuangan dan belakangan soal politik dan etika. Hanya saja jika ingin nulis sesuatu yang ringan pas lagi istirahat makan siang atau perjalanan di KRL atau ketika ngantuk dengerin pengajian di masjid Bintaro, rasanya saya harus buat blog baru.

Saya tak mau pusing dengan audience....preks saja lah. Saya hanya percaya, bahwa selama tulisan saya jujur, iklas, tanpa pretensi untuk mengkotbahi, pasti banyak pembaca yang punya jiwa berontak seperti saya, akan suka.

Selanjutnya, walaupun header blog ini menyinggung intelektualisme dan spiritualisme, gak akan berat-berat kok tulisan saya. Anyway, bagi saya, karya budi yang dituliskan dengan fikiran dan hati, kendati disampaikan dengan cara secair mungkin, merupakan refleksi inteletual dan spritual penulisnya. Kan saya bukan alay, yang kalo nulis apapun, bisa tidak berarti apapun. Usia saya sudah tidak memungkinkan saya menjadi alay, bagaimanapun kerasnya kemauan saya untuk itu...wkkwkwkwk.

Yuk ah....



Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan_indonesia.com
okawidana.blogspot.com