Oka Widana - Sekedar Perspektif
Rabu, 22 Agustus 2018
Business Ethics. - ppt video online download
Business Ethics. - ppt video online download: What is Ethics?
Jumat, 03 Juli 2015
The Journey of PhD is Accomplished
On Wednesday, May 27th , 2015, I Gusti Ngurah Oka Widana finally managed to finish his dissertation and completed the doctoral program. His Ph.D. Dissertation entitled “The Impact of Market Orientation, Relationship Marketing and Islamic Business Ethics to The Business Performance: The Study of Islamic Banking in Indonesia” has defended successfully, with judicium: highly distinction.
The Chairman for his defense was Prof Dr. Ir. Dermawan Wibisono, M. Eng. The examining committee members were Ir. Gatot Yudoko, MASC., Ph.D., Dr. Subiakto Soekarno, MBA. (SBM ITB) and Erie Febrian, MBA., M.Comm., Ph.D. (UNPAD).
Oka Widana’s Promoter and Co Promoters Prof. Dr. Ir. Sudarso Kaderi Wiryono, DEA, Dr. Ir. Mustika S. Purwanegara, M.Sc. and Dr. Ir. Mohamad Toha.
Hopefully this will further strengthening the ranks of academia at the School of Business and Management ITB.
Congratulations to Dr. I Gusti Ngurah Oka Widana.
Source: http://www.sbm.itb.ac.id/i-gusti-ngurah-oka-widana-dissertation-defense.html
Rabu, 13 Mei 2015
DOA 2015
Sudah lama nian saya tak menulis di blog ini. Setahun lebih....kesibukan, fokus dan lain-lain persoalan mematikan keinginan saya menulis disini. Tentu saja, beberapa paper yang musti saya tulis juga membuat saya kehilangan mood sharing hal-hal remeh temeh tapi mendalam via blog ini. Anyway.....
Saya memulai tahun 2015 ini dengan baik. Mendapat promosi di kantor, kuliah PhD saya yang makin kelihatan ujungnya, situasi keuangan yang semakin membaik dan seterusnya. Hari-hari ini saya lalui dengan bersyukur dan bersyukur. Akan tetapi saya merasa belum cukup. Maksud saya bersyukur nya yang belum cukup. Ada yang belum pas dengan cara saya bersyukur dan apa yang saya syukuri.
Sebagai contoh, saya masih sering iri dengan kawan-kawan yang kelihatan makin banyak amal sedekahnya, buat pesantren lah, nambah anak asuh lah, makin banyak hapalan Quran nya lah. Saya bertanya dalam hati, kapan saya bisa seperti itu......"Oalah Gusti, saya kapan diberi kesampatan? Apakah maqom saya belum sampai kesana?" Itulah..saya komplen kepada Tuhan dalam doa saya karena belum diberi kesempatan.
Dengan berjalannya waktu saya mendapat pelajaran bahwa hidup ini semuanya kesempatan...tiada waktu yang tak bisa diisi dengan perbuatan baik (istilah dalam Islam, ibadah). Jadi kesempatan gak usah diminta wong sudah disediakanNYA. Jadi dengan semangat saya mengubah redaksional doa saya ..... "Duh Gusti berikan saya tenaga yang lebih besar, kemauan yang lebih kuat, badan yang lebih sehat agar hamba bisa lebih banyak beribadah kepadamu dan bermanfaat bagi keluarga dan orang lain".
Tapi saya merasa tambah gak bener. Lah doa itu kan mencerminkan suasana hati kita, pandangan kita terhadap hidup dan terhadap Tuhan. Kembali saya mendapat pencerahan setelah mendengarkan tausiah seorang ulama melalui you tube....aneh juga kok saya berdoa seolah-olah pengen ngatur2 Tuhan? lah Dia kan memiliki rancangannya sendiri. Terserah dia mau menjadikan, mengarahkan, memutuskan saya sebagai hambaNYA. Kalo saya minta tenaga, semangat dan badan yang sehat itu artinya saya minta berdasarkan kemauan saya, nafsu saya.
Emang kalo saya diberi sakit, saya gak bisa ibadah? Emang kalo saya lagi gak semangat terus saya maksiat?...kan gak gitu. Makanya doa saya pun berubah lagi...."Ya Rabb, berilah pemahaman kepada hamba terhadap apapun yang Engkau karuniakan, sehat, sakit, beruang, tidak beruang, gembira dan sedih. Tuntunlah Hamba untuk mengenaliMu dalam setiap situasi. Tetapkan tawadlu dan rasa syukur dalam diri hamba, agar hamba dapat memanfaatkan karuniaMu sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Mu".
Legakah saya?
Lumayan. Walau saya yakin beberapa waktu mendatang saya akan galau lagi jika saya mendapatkan penemuan baru, pemahaman baru mengenai diri saya dan Tuhan. Kan hidup ini dinamis. Makanya muslim membaca "ih dinassirotol mutaqiem" 17 kali sehari semalam, maknanya karena hidup ini dinamis yang memerlukan petunjuk Tuhan setiap saat.
Mei 2015
OKA
okawidana.blogspot.com
solusi-kampiun.blogspot.com
Saya memulai tahun 2015 ini dengan baik. Mendapat promosi di kantor, kuliah PhD saya yang makin kelihatan ujungnya, situasi keuangan yang semakin membaik dan seterusnya. Hari-hari ini saya lalui dengan bersyukur dan bersyukur. Akan tetapi saya merasa belum cukup. Maksud saya bersyukur nya yang belum cukup. Ada yang belum pas dengan cara saya bersyukur dan apa yang saya syukuri.
Sebagai contoh, saya masih sering iri dengan kawan-kawan yang kelihatan makin banyak amal sedekahnya, buat pesantren lah, nambah anak asuh lah, makin banyak hapalan Quran nya lah. Saya bertanya dalam hati, kapan saya bisa seperti itu......"Oalah Gusti, saya kapan diberi kesampatan? Apakah maqom saya belum sampai kesana?" Itulah..saya komplen kepada Tuhan dalam doa saya karena belum diberi kesempatan.
Dengan berjalannya waktu saya mendapat pelajaran bahwa hidup ini semuanya kesempatan...tiada waktu yang tak bisa diisi dengan perbuatan baik (istilah dalam Islam, ibadah). Jadi kesempatan gak usah diminta wong sudah disediakanNYA. Jadi dengan semangat saya mengubah redaksional doa saya ..... "Duh Gusti berikan saya tenaga yang lebih besar, kemauan yang lebih kuat, badan yang lebih sehat agar hamba bisa lebih banyak beribadah kepadamu dan bermanfaat bagi keluarga dan orang lain".
Tapi saya merasa tambah gak bener. Lah doa itu kan mencerminkan suasana hati kita, pandangan kita terhadap hidup dan terhadap Tuhan. Kembali saya mendapat pencerahan setelah mendengarkan tausiah seorang ulama melalui you tube....aneh juga kok saya berdoa seolah-olah pengen ngatur2 Tuhan? lah Dia kan memiliki rancangannya sendiri. Terserah dia mau menjadikan, mengarahkan, memutuskan saya sebagai hambaNYA. Kalo saya minta tenaga, semangat dan badan yang sehat itu artinya saya minta berdasarkan kemauan saya, nafsu saya.
Emang kalo saya diberi sakit, saya gak bisa ibadah? Emang kalo saya lagi gak semangat terus saya maksiat?...kan gak gitu. Makanya doa saya pun berubah lagi...."Ya Rabb, berilah pemahaman kepada hamba terhadap apapun yang Engkau karuniakan, sehat, sakit, beruang, tidak beruang, gembira dan sedih. Tuntunlah Hamba untuk mengenaliMu dalam setiap situasi. Tetapkan tawadlu dan rasa syukur dalam diri hamba, agar hamba dapat memanfaatkan karuniaMu sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Mu".
Legakah saya?
Lumayan. Walau saya yakin beberapa waktu mendatang saya akan galau lagi jika saya mendapatkan penemuan baru, pemahaman baru mengenai diri saya dan Tuhan. Kan hidup ini dinamis. Makanya muslim membaca "ih dinassirotol mutaqiem" 17 kali sehari semalam, maknanya karena hidup ini dinamis yang memerlukan petunjuk Tuhan setiap saat.
Mei 2015
OKA
okawidana.blogspot.com
solusi-kampiun.blogspot.com
Jumat, 07 Maret 2014
Keislaman Indonesia
Sudah lama saya tak update blog ini, terakhir bulan Nopember 2013 wah.... tetapi bukan itu alasan saya menulis soal agama (lagi). Alasan utamanya berangkat dari keprihatinan, bahwa ajaran agama yang adiluhung belum berhasil diimplementasikan dengan baik.
Agama (saya bicara agama Islam, agama yang saya anut) mengajarkan bahwa Islam adalah ad-dien yang sempurna. Ajaran yang dibawanya adalah komprehensif dan paripurna. Tentu wajar jika para pemeluknya bersemangat dan bangga dengan kesempurnaan Islam. Bahkan saking semangatnya, kita lupa soal implementasi.
Saya forwardkan tulisan Prof. Komaruddin Hidayat, yang me-review article Rehman dan Askari (2010) yang berjudul "How Islamic are Islamic Countries", yang menempatkan rangking negara-negara Barat lebih Islami daripada negara-negara yang menganggap dirinya negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim. Tulisan Rehman dan Askari (2010) bisa diunduh melalui link:
http://www.ahmad-juhaidi.com/wp-content/uploads/2013/06/how-islamic-islamic-countries.pdf
Saya tak paham apakah Prof. Komaruddin, maupun Rehman dan Askari ini muslim sunie atau syiah atau golongan lain. Yang jelas substansi tulisan ini lebih penting yakni masih banyak hal-hal crucial dan prioritas yang harus dilakukan sebelum negara ini pantas menyandang sebagai negara yang Islami.
Akhirnya saya juga enggan berpanjang-panjang berkomentar. Tujuan pemuatan tulisan pak Komar adalah dalam rangka interopeksi dan kontemplasi. Dimana-mana interopeksi dan kontemplasi, lebih banyak diam dan berfikir daripada coment panjang pendek.
Oka Widana
okawidana.blogspot.com
@ahli_keuangan
@owidana
==============
KEISLAMAN INDONEDIA
Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Sumber : KOMPAS, 05 November 2011
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun
di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.
Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan
masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah
Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru
berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.
Semarak dakwah dan ritual
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna.
Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.
Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. ●
Agama (saya bicara agama Islam, agama yang saya anut) mengajarkan bahwa Islam adalah ad-dien yang sempurna. Ajaran yang dibawanya adalah komprehensif dan paripurna. Tentu wajar jika para pemeluknya bersemangat dan bangga dengan kesempurnaan Islam. Bahkan saking semangatnya, kita lupa soal implementasi.
Saya forwardkan tulisan Prof. Komaruddin Hidayat, yang me-review article Rehman dan Askari (2010) yang berjudul "How Islamic are Islamic Countries", yang menempatkan rangking negara-negara Barat lebih Islami daripada negara-negara yang menganggap dirinya negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim. Tulisan Rehman dan Askari (2010) bisa diunduh melalui link:
http://www.ahmad-juhaidi.com/wp-content/uploads/2013/06/how-islamic-islamic-countries.pdf
Saya tak paham apakah Prof. Komaruddin, maupun Rehman dan Askari ini muslim sunie atau syiah atau golongan lain. Yang jelas substansi tulisan ini lebih penting yakni masih banyak hal-hal crucial dan prioritas yang harus dilakukan sebelum negara ini pantas menyandang sebagai negara yang Islami.
Akhirnya saya juga enggan berpanjang-panjang berkomentar. Tujuan pemuatan tulisan pak Komar adalah dalam rangka interopeksi dan kontemplasi. Dimana-mana interopeksi dan kontemplasi, lebih banyak diam dan berfikir daripada coment panjang pendek.
Oka Widana
okawidana.blogspot.com
@ahli_keuangan
@owidana
==============
KEISLAMAN INDONEDIA
Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Sumber : KOMPAS, 05 November 2011
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun
di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.
Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan
masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah
Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru
berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.
Semarak dakwah dan ritual
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna.
Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.
Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. ●
Senin, 11 November 2013
Ekonomi Kolaboratif - Ekonomi Gotong Royong. Ekonomi ala Indonesia?
Tulisan Prof Frimanzah menarik untuk saya dari berbagai
sudut. Pertama karena ini tulisan civitas FE UI yang biasanya tak lepas dari
aliran pasar bebas (liberalisme dan anak cucu pemikirannya).
Kedua, Prof Firmanzah mengindikasikan bahwa BUMN, BUMD lah yang seharusnya menjadi pelopor dan pandu dalam ekonomi kolaboratif, karena Pemerintah dan Pemda yang mengontrol BUMN dan BUMD tersebut. Saya menambahkan bahwa fitrah BUMN dan BUMD adalah development and social agency. Untung akunting merupakan mandatory, namun keuntungan sosial dan lingkungan merupakan tujuan yang lebih penting. Dalam kerangka good governence, maka Pemerintah hanya dibatasi sebagai regulator. BUMN dan BUMD sepenuhnya pada level player, setara dengan pemain-pemain swasta lainnya. Memang jadi agak utopia disini bahwa BUMN/BUMND harus kompetitif tetapi peran sebagai social agent tak boleh ditinggalkan. Menurut saya, jawabannya mungkin terletak pada bidang-bidang yang digeluti BUMN/BUMD, yakni hanya pada wilayah yang secara langsung dan significant menyangkut kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, kebetulan contoh yang disampaikan terjadi di Bali (kampung halaman saya), yang sangat menjunjung tinggi tradisi gotong royong. Tradisi subak, kelompok usaha di Banjar (dusun) bahkan sampai ngaben (upacara pembakaran jenazah) yang sebenarnya bersifat gotong royong juga. Saya percaya bahwa didaerah-daerah lain, nilai2 gotong royong jauh lebih kental daripada nilai-nilai persaingan bebas.
Saya masih yakin bahwa karakter bangsa ini adalah kolaboratif dan berfikiran positif. Jadi memang diperlukan penyesuaian menghadapai iklim pasar bebas yang core-nya adalah invidualistik. Menurut hemat saya titik temu antara kolaborasi dan individualisme, dimana kolaboratif adalah kerjasama antar individu yang masing-masing memberikan nilai tambah kepada hasil akhir. Dengan kata lain, kolaboratif harus menghasilkan sinergi, berupa nilai tambah lebih besar daripada hasil total yang dihasilkan jika para individu itu bekerja sendiri-sendiri. Artinya, kolaboratif hanya terjadi jika ada sinergi.
Jika beberapa tahun lalu dimillis ini diributkan bahwa ekonomi pancasila adalah wadah kosong yang masih perlu diisi. Maka, saya kira, ekonomi kolaboratif merupakan salah satu kandidat konsep yang terkuat untuk mengisi wadah kosong itu. Saya berargumen bahwa ekonomi pancasila bukan mahzab baru sistem ekonomi, melainkan ”hanya” strategi Indonesia –negara, bangsa dan rakyat- dalam mensiasati percaturan ekonomi global.
Saya katakan ekonomi kolaboratif sebagai strategi, berkaca pada contoh-contoh dilapangan dimana beberapa bangsa melakukan ini. Sebagai gambaran adalah kolaborasi ala perusahaan Jepang di Indonesia. Sudah merupakan pengetahuan bersama bahwa perusahaan Jepang (Murni tened 100% atau Joint Venture) hanya mau berbank-ing dengan bank Jepang. Terhadap nasabah Jepang, Bank Jepang sangat relax dalam penetapan jaminan dan suku bunga. Demikian juga dalam mencari suplier, perusahaan Jepang memprioritaskan pemasok Jepang. Harus diakui bahwa kolaborasi semacam itu tidak mengurangi efisiensi produksi mereka. Hal inilah yang harus dipelajari dan menjadi topik riset kedepan, bagaimana kolaborasi mendorong efisiensi.
Perusahaan Korea nampaknya mengcopy budaya kolaboratif dari Jepang. Saya melihat perusahaan China dan India juga melakukan hal serupa. Bahkan belakangan, bank-bank China mendorong penggunaan mata uang China sebagai mata uang LC (Leter of Credit). Bank-bank milik Malaysia dan Singapura di Indonesia mulai juga mengarah resana (mempromosikan mata uang negara masing2).
Sekali lagi, kolaborasi tidak bisa dari paksaan politik atau alasan lain diluar ekonomi dan efisiensi, namun saya tetap memandang bahwa ia ditumbuh kembangkan dari culture (tradisi) bangsa ini. Memang perlu penyesuaian, misalnya culture dalam melakukan pekerjaan atau memproduksi barang harus memberikan yang terbaik, dari segi harga, kualitas dan aspek lainnya. Akan tetapi harus diingat bahwa produksi/pekerjaan yang terbaik harus dimulai dari produksi/pekerjaan untuk bangsa sendiri, bukan terbalik. Ketika bekerja atau memproduksi untuk bangsa lain kita hebat, namun untuk bangsa sendiri asal-asalan. Itulah pula yang dilakukan Jepang, Korea dan China yang pertama kali mengusahakan produksi/pekerjaan terbaik kepada bnagsanya sendiri, dan jika sudah terbiasa demikian, secara otomatis pekerjaan/produksi untuk dijual keluar juga akan terbaik.
Pada akhirnya, semua konsep baik tergantung implementasinya kepada kepemimpinan nasional. Diwilayah BUMN, Menteri BUMN mendorong kolaborasi BUMN. Seharusnya tidak terbatas pada BUMN, melainkan disemua lini. Ekonomi kolaboratif merupakan strategi ketahanan ekonomi nasional dan untuk memenangkan persaingan antar bangsa. Otherwise kita kembali terperangkap pada strategi “devide at impera”, yang bukan dilakukan oleh negara penjajah, tetapi oleh ideologi pasar bebas.
Oka Widana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com
Kedua, Prof Firmanzah mengindikasikan bahwa BUMN, BUMD lah yang seharusnya menjadi pelopor dan pandu dalam ekonomi kolaboratif, karena Pemerintah dan Pemda yang mengontrol BUMN dan BUMD tersebut. Saya menambahkan bahwa fitrah BUMN dan BUMD adalah development and social agency. Untung akunting merupakan mandatory, namun keuntungan sosial dan lingkungan merupakan tujuan yang lebih penting. Dalam kerangka good governence, maka Pemerintah hanya dibatasi sebagai regulator. BUMN dan BUMD sepenuhnya pada level player, setara dengan pemain-pemain swasta lainnya. Memang jadi agak utopia disini bahwa BUMN/BUMND harus kompetitif tetapi peran sebagai social agent tak boleh ditinggalkan. Menurut saya, jawabannya mungkin terletak pada bidang-bidang yang digeluti BUMN/BUMD, yakni hanya pada wilayah yang secara langsung dan significant menyangkut kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, kebetulan contoh yang disampaikan terjadi di Bali (kampung halaman saya), yang sangat menjunjung tinggi tradisi gotong royong. Tradisi subak, kelompok usaha di Banjar (dusun) bahkan sampai ngaben (upacara pembakaran jenazah) yang sebenarnya bersifat gotong royong juga. Saya percaya bahwa didaerah-daerah lain, nilai2 gotong royong jauh lebih kental daripada nilai-nilai persaingan bebas.
Saya masih yakin bahwa karakter bangsa ini adalah kolaboratif dan berfikiran positif. Jadi memang diperlukan penyesuaian menghadapai iklim pasar bebas yang core-nya adalah invidualistik. Menurut hemat saya titik temu antara kolaborasi dan individualisme, dimana kolaboratif adalah kerjasama antar individu yang masing-masing memberikan nilai tambah kepada hasil akhir. Dengan kata lain, kolaboratif harus menghasilkan sinergi, berupa nilai tambah lebih besar daripada hasil total yang dihasilkan jika para individu itu bekerja sendiri-sendiri. Artinya, kolaboratif hanya terjadi jika ada sinergi.
Jika beberapa tahun lalu dimillis ini diributkan bahwa ekonomi pancasila adalah wadah kosong yang masih perlu diisi. Maka, saya kira, ekonomi kolaboratif merupakan salah satu kandidat konsep yang terkuat untuk mengisi wadah kosong itu. Saya berargumen bahwa ekonomi pancasila bukan mahzab baru sistem ekonomi, melainkan ”hanya” strategi Indonesia –negara, bangsa dan rakyat- dalam mensiasati percaturan ekonomi global.
Saya katakan ekonomi kolaboratif sebagai strategi, berkaca pada contoh-contoh dilapangan dimana beberapa bangsa melakukan ini. Sebagai gambaran adalah kolaborasi ala perusahaan Jepang di Indonesia. Sudah merupakan pengetahuan bersama bahwa perusahaan Jepang (Murni tened 100% atau Joint Venture) hanya mau berbank-ing dengan bank Jepang. Terhadap nasabah Jepang, Bank Jepang sangat relax dalam penetapan jaminan dan suku bunga. Demikian juga dalam mencari suplier, perusahaan Jepang memprioritaskan pemasok Jepang. Harus diakui bahwa kolaborasi semacam itu tidak mengurangi efisiensi produksi mereka. Hal inilah yang harus dipelajari dan menjadi topik riset kedepan, bagaimana kolaborasi mendorong efisiensi.
Perusahaan Korea nampaknya mengcopy budaya kolaboratif dari Jepang. Saya melihat perusahaan China dan India juga melakukan hal serupa. Bahkan belakangan, bank-bank China mendorong penggunaan mata uang China sebagai mata uang LC (Leter of Credit). Bank-bank milik Malaysia dan Singapura di Indonesia mulai juga mengarah resana (mempromosikan mata uang negara masing2).
Sekali lagi, kolaborasi tidak bisa dari paksaan politik atau alasan lain diluar ekonomi dan efisiensi, namun saya tetap memandang bahwa ia ditumbuh kembangkan dari culture (tradisi) bangsa ini. Memang perlu penyesuaian, misalnya culture dalam melakukan pekerjaan atau memproduksi barang harus memberikan yang terbaik, dari segi harga, kualitas dan aspek lainnya. Akan tetapi harus diingat bahwa produksi/pekerjaan yang terbaik harus dimulai dari produksi/pekerjaan untuk bangsa sendiri, bukan terbalik. Ketika bekerja atau memproduksi untuk bangsa lain kita hebat, namun untuk bangsa sendiri asal-asalan. Itulah pula yang dilakukan Jepang, Korea dan China yang pertama kali mengusahakan produksi/pekerjaan terbaik kepada bnagsanya sendiri, dan jika sudah terbiasa demikian, secara otomatis pekerjaan/produksi untuk dijual keluar juga akan terbaik.
Pada akhirnya, semua konsep baik tergantung implementasinya kepada kepemimpinan nasional. Diwilayah BUMN, Menteri BUMN mendorong kolaborasi BUMN. Seharusnya tidak terbatas pada BUMN, melainkan disemua lini. Ekonomi kolaboratif merupakan strategi ketahanan ekonomi nasional dan untuk memenangkan persaingan antar bangsa. Otherwise kita kembali terperangkap pada strategi “devide at impera”, yang bukan dilakukan oleh negara penjajah, tetapi oleh ideologi pasar bebas.
Oka Widana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com
@owidana
Ekonomi
Kolaboratif Ekonomi Gotong-Royong
Author: PROF
FIRMANZAH PhD
Keberhasilan membangun Jembatan Tol Bali (Tol Mandara)
menjadi tonggak perubahan paradigmatik skema kerja sama pembangunan dan sistem
ekonomi di Indonesia .
Saya menyebut perubahan paradigmatik karena sifatnya mendasar dan fundamental.
Pembangunan yang
didasarkan pada skema kolaborasi serta kemitraan strategis, bukan skema
persaingan atau kompetisi. Jembatan tol tersebut diwujudkan melalui kolaborasi
dan strategic partnership antara pemerintah pusat daerah, BUMN dan BUMD. Sinergi
ini tercermin dari kepemilikan PT Jasa Marga Bali Tol selaku badan usaha jalan
tol, di mana PT Jasa Marga (Persero) Tbk memiliki porsi saham 60%, PT Pelindo
III (Persero) 20%, PT Angkasa Pura I (Persero) 10%, PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk 5%, PT Adhi Karya (Persero) Tbk 2%, PT Hutama Karya (Persero) Tbk 2%, dan
PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) 1%.
Saya memandang Indonesia saat ini sangat
membutuhkan ekonomi kolaboratif dalam semua tingkatan baik di tingkat
kebijakan, penguatan industri nasional, pembangunan infrastruktur, maupun
pemberdayaan masyarakat. Terlebih konsep dan skema kolaboratif sebenarnya
berakar dari semangat kolektif bangsa ini yaitu gotongroyong. Dalam skema
gotong-royong, masing-masing aktor baik individu maupun organisasi
berkontribusi sesuai kemampuannya mewujudkan kepentingan lebih besar.
Semangat kolaboratif dan gotong-royong tidak bersifat
memaksa, tetapi tidak juga menjadikan para aktor ekonomi bersikap acuh-tak-acuh
dan free-rider untuk wujudkan tujuan kolektif. Semangat kolaboratif dibangun atas kesadaran kolektif terhadap pentingnya
saling dukung dan bukan saling jegal. Ego sektoral menjadi sangat tidak relevan
dalam sistem ekonomi kolaboratif. Terlebih saat ini kebutuhan anggaran dalam
MP3EI tidak semua dapat dibiayai APBN.
Dari
Rp4.000 triliun anggaran MP3EI antara 2011-2014, pembiayaan dari swasta sebesar
49%, pemerintah 12%, BUMN 18%, dan campuran 21%. Meski begitu, dalam tataran
implementasi, semua pihak termasuk pemerintah daerah dan BUMD diharapkan dapat
proaktif baik dalam pengusulan, perancangan, sampai pengerjaan proyek
infrastruktur. Sekali lagi semangat kolaborasi baik yang tercermin dalam upaya
kolektif penghapusan hambatan investasi, pembentukan konsorsium dan badan usaha
bersama perlu terus kita dukung bersama.
Hanya
melalui semangat kebersamaan dan saling dukung inilah target percepatan dan
perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat kita capai bersama.
Kembali ke proyek pembangunan Jalan Tol Bali, saya mengandaikan apabila tidak
ada skema kolaboratif untuk membangun Jembatan Tol Bali dengan panjang sekitar
12,7 km, akan sulit kita wujudkan. Pembangunan tol di atas laut yang
menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Nusa Dua dan Benoa itu hanya membutuhkan
waktu 14 bulan.
Kolaborasi
dan sinergi yang ditunjukkan selama perencanaan dan pembangunan proyek
infrastruktur ini dapat menjadi best-practice bagi proyekpembangunanlaindi
Indonesia. Dalam sistem
kolaborasi dan gotong-royong dimungkinkan ada kerja sama, partnership, dan
sharingressourcesantarpelaku ekonomi. Skema ini menjadi sangat penting ketika
sebuah sistem entah itu negara, provinsi, kabupaten/kota, perusahaan (BUMN,
swasta, koperasi), atau bentuk organisasi lain memiliki keterbatasan sumber daya.
Sementara
kebutuhan pembangunan sangat tinggi dan perlu dukungan semua pihak. Karena itu,
percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya akan
terakselerasi pembangunannya ketika ini ditunjang oleh segenap pelaku ekonomi.
Kolaborasi antara pemerintah pusat-daerah serta dunia usaha sangat diperlukan
untuk mempermudah perizinan, pembebasan lahan, penguatan struktur permodalan,
serta pengerjaan teknisnya.
Saat
inikitaperlulebih banyak lagi bandara udara, jalan tol, air bersih, bendungan,
rel kereta api, pelabuhan, dan industrialisasi yang dipercepat pembangunannya.
Saat ini semangat kolaboratif dan gotong-royong telah menemukan kembali arti
penting di Indonesia. Selain pembangunan jembatan tol di Bali, semangat ekonomi
kolaboratif dan gotong-royong juga tercermin pada komitmen 140 BUMN untuk
menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
Tanda tangan nota
kesepakatan dilakukan pada Senin (21/10) di hadapan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Sehingga pada 1 Januari 2014, seluruh karyawan BUMN otomatis menjadi
peserta BPJS kesehatan dan diharapkan dapat memperkuat lembaga BPJS kesehatan.
Iuran BPJS kesehatan dari BUMN diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan
lembaga BPJS kesehatan dan yang terpenting dapat menyubsidi silang dengan
mereka yang membutuhkan.
Komitmen
penggabungan 140 BUMN merupakan bukti ekonomi kolaboratif dan gotong-royong di
Tanah Air telah menemukan kembali arti penting sebagai komplemen dari skema
persaingan atau kompetisi. Semangat kolaboratif antara pemerintah pusat-daerah
dan dunia usaha juga dilakukan baru-baru ini. Kesadaran kolektif untuk
meningkatkan kemandirian pangan yang membutuhkan kerja sama dan koordinasi di
tingkat implementasi antara pusat-daerah dan dunia usaha terus ditingkatkan.
Baik pemerintah
pusat maupun daerah serta dunia usaha saling berbagi tugas dan berkontribusi
untuk meningkatkan produksi pangan terutama pada lima komoditas strategis yaitu
beras, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Untuk meningkatkan kemandirian
pangan, di Bukittinggi telah ditandatangani komitmen pencapaian sasaran dan
rencana aksi ketahanan pangan oleh 12 menteri, 12 gubernur, dan Kadin
Indonesia.
Melalui semangat
kolaboratif dan gotong-royong ini, kita tentu optimistis kemandirian pangan
Indonesia ke depan akan menjadi lebih kuat dan berdaya tahan. Sistem
kolaboratif dan gotong-royong semakin kita butuhkan mengingat tantangan yang
dihadapi Indonesia ke depan menjadi tidak lebih sederhana. Perekonomian
Indonesia akan dihadapkan pada tatanan ekonomi global dan kawasan yang semakin
terintegrasi, interdependensi, dan penuh ketidakpastian.
Sementara di
dalam negeri kita semakin memerlukan stabilitas dan resiliensi untuk menghadapi
setiap gejolak ekonomi yang bersumber dari eksternal. Penguatan jejaring
produksi nasional, konektivitas, pencapaian MDGs, daya saing nasional, serta
perluasan ekspansi perusahaan nasional ke pasar luar negeri semakin membutuhkan
koordinasi, komunikasi, dan kerja sama lintas sektoral. Menciptakan dan
membangun ekonomi kolaboratif dan gotong-royong tidak dapat dilakukan apabila
setiap pelaku ekonomi at all cost untuk kepentingan sendiri.
Tidak
mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan yang lebih luas. Semangat
dominatif atas yang lain harus dikurangi dan digantikan dengan semangat
keterbukaan, saling memahami, serta berkontribusi. Inilah yang dilakukan
sejumlah negara seperti Jepang dan Korea Selatan untuk memperkuat struktur
industri dalam negeri serta ekspansinya ke pasar regional-global. Dengan bekal
nilai-nilai gotong-royong yang diwariskan oleh pendiri bangsa, kita optimistis
akan lebih banyak lagi bentuk-bentuk kerja sama sebagai manifestasi ekonomi
kolaboratif di Indonesia. ●
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus
Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
Rabu, 11 September 2013
Indeks Kebahagiaan - Orang Indonesia ternyata kurang bahagia
Apa definisi
kebahagiaan? kita bisa berdebat panjang pendek, memang sulit. Lebih sulit lagi mengukur kebahagiaan.
Apapun, badan PBB bernama UN Sustainable
Development Solutions Network (SDSN) pada tahun 2013 ini melakukan survey mengukur indeks kebahagiaan,
dengan membandingkan kondisi 156 negara di dunia, menyimpulkan rakyat Indonesia
kurang bahagia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN misalnya Singapore (rangking #30) Thailand
(#36), Malaysia (#56), Vietnam (#63). Negara Indonesia (rangking #76) cuma lebih bagus dari Philipina
(#92), Laos
(109) ==> Brunai, Kamboja dan TimTim tidak masuk survey.
Tolok ukur dari
kebahagiaan sebuah negara menurut survey ini adalah kebijakan yang diambil
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, antara lain berupa indeks
kebebasan, korupsi dan PDB per kapita sebuah negara. Pentingnya mengukur kebahagiaan karena orang-ornag yang secara emosional bahagia memiliki kencedrungan untuk lebih mensyukuri hidup. Selain itu orang-ornag yang tinggal dalam masyarakat yang bahagia maka hidupnya menjadi lebih sehat, produktif, memiliki keperdulian sosial. Pada akhirnya orang-orang dan masyarakat yang behagia akan berdampak positif pada keluarga, lingkungan kerja, masyarakat yang lebih luas.
Hasil survey itu (http://unsdsn.org/files/2013/09/WorldHappinessReport2013_online.pdf),
top10 negara yang rakyatnya paling bahagia adalah (#1) Denmark , (#2) Norwegia, (#3) Swiss, (#4)
Belanda, (#5) Swedia, (#6) Kanada, (#7) Finlandia, (#8) Austria , (#9) Islandia (#10)Australia . Negara-negara
ini terkenal dengan kebijakan Pemerintahnya soal pendidikan, kesehatan dan
pensiun. Selain itu mereka juga melindungi kebebasan individu
(sebebas-bebasnya) dan concern terhadap lingkungan hidup.
Survey sangat menekankan pentingnya kesehatan mental (Mental
health). Bahkan dikatakan "mental illness is one of the main causes of unhappiness".
Selanjutnya disebutkan bahwa kesehatan mental merupakan bahagian penting dari
kemampuan individual untuk memberi arti pada kehidupannya antara lain
berpengaruh kepada kemampuan belajar, bekerja sesuai minat dan kemampuan
mengambil keputusan sehari-hari (rumah tangga, pendidikan, pekerjaan). Kesehatan
mental akan berpengaruh pada bagaimana individu berinteraksi sosial, merasa
puas dengan kehidupan yang dijalaninya serta kemampuan untuk secara mandiri
mengambil keputusan.
Survey ini tidak mengkaitkan kebahagiaan dengan spiritualitas
apalagi religiusitas. Kebahagiaan
merupakan keseimbangan antara kesejahteraan material, kemudian berpengaruh pada
kesehatan mental. Jika keduanya bagua dan seimbang, niscaya indeks kebahagiaan
menjadi tinggi. Survey jelas menunjuukan hal ini, paling tidak di negara-negara
"agama" menurut survey ini, rakyatnya juga gak bahagia-bahagia amat. Contoh
Arab Saudi (#33), Pakistan (#81) dan Iran (#115) ==> Tetapi Israel rangking
11 (:
Akan tetapi indeks
kebahagiaan versi UN SDSN, bukan satu-satunya cara yang mencoba mengukur kebahagiaan.
Gross National Happiness (www.grossnationalhappiness.com) yang dipelopori raja
Jigme Singye Wangchuck IV dari negara Bhutan (negara kecil di kaki Himalaya). Berbeda
dengan UN SDSN, menurut teori sang Raja atau kemudian dikenal dengan model
Bhutan, kebahagiaan adalah perkembangan yang seimbang antara materi dan
spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap
kebudayaan tradisional DILETAKKAN di atas perkembangan ekonomi.
Beberapa contoh
prinsip Bhutan dalam mencapai kebahagiaan (yang tak terlalu risau dengan
pertumbuhan ekonomi adalah:
- Setiap tahun,
setiap orang Bhutan harus menanam 10 batang pohon. Walhasil angka cakupan hutan
belantara di Bhutan sebesar 72% berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak
26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional. Pada 2005 Bhutan
memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United
Nations Environment Programme, UNEP).
- Disebelah
selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah
tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air)
Bhutan. Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan
dalam tempo 4 tahun, mereka malah memilih waktu 12 tahun untuk menembus gunung
sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah
tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan
raksasa tentang kisah sang Budha.
- Oleh karena
tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan
ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa
sebesar US$ 200, membatasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami
pencemaran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.
- Pada akhir
2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh
negeri. Ini adalah pelarangan merokok total kali pertama di dunia, para
warganya dilarang menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.
- Bhutan
menerapkan aturan umum bahwasanya laki-perempuan harus mengenakan model busana
nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut
sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai
dan disebut Kira.
- Pengelolaan
pertanian harus dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pupuk kimia.
Model UN SDSN dan
model Bhutan tidak paparel. Paling tidak survey UN SDSN tidak dilakukan di
Bhutan, sebaliknya model Bhutan, barulah teoritical model yang belum dicoba
diluar negara Bhutan.
Bagaimana dengan
Indonesia? Hasil survey UN SDSN, rakyat Indonesia tak terlalu bahagia (rangking #76 dari 156 negara). Penjelasannya jelas
didepan mata, walau pertumbuhan ekonomi lumayan, lapisan warga paling atas yang
menikmati madu terbesar. Rakyat bawah justru megap-megap melepaskan diri dari
himpitan kenaikan harga terus menerus, pendidikan apa adanya, layanan birokrasi
yang buruk dan korup. Walau rakyat
Indonesia memiliki religiusitas yang tinggi, hal itu mungkin hanya berperan
sebagai buffer yang membuat rakyat lebih sabar dan tahan tekanan. Namun kondisi ini tidaklah membuat rakyat bahagia secara emosional.
Seperti penjelasan sebelumnya orang-orang yang tidak bahagia akan membuat masyarakat sekitarnya juga tak bahagia. Akhirnya Negara secara keseluruhan menjadi kurang bahagia.
Sebagai penutup, untuk
Indonesia, hasil survey ini penting dimaknai sebagai kebutuhan rakyat untuk
hidup lebih baik. Tak perlu malu mengakui memang ada latent problem dibalik
semua indikator ekonomi yang dibangga-banggakan. Indeks kebahagiaan (versi UN
SDSN) ini mewakili silent voice dari rakyat yang ingin memperbaiki taraf hidup.
Saya yakin, mau
pakai model manapun (model UN SDSN atau pakai model Bhutan) saya kira hasilnya
gak akan jauh berbeda. Atau mau develop model kebahagiaan sendiri? model
Indonesia?
Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
okawidana.blogspot.com
solusi-kampiun.blogspot.com
Kamis, 05 September 2013
20 Etika untuk Penumpang KRL JABODETABEK (Commuter Line)
Etika bukan peraturan,
jadi tidak mengikat dan tidak ada sanksi bila tidak dilaksanakan. Akan tetapi,
jika etika dilaksanakan dengan disiplin maka semua pihak akan mendapatkan
manfaat, yakni penumpang dan penyelenggara layanan (KAI).
Daftar Etika ini
adalah dokumen terbuka yang setiap saat bisa berkurang atau bertambah, atas
masukan dari sesama penumpang Commuter Line.
- Setiap penumpang hendaknya berpakaian bersih (tidak harus bagus) dan tidak bau keringat (bau badan). Suasana kereta yang sangat padat (bergerakpun sulit),akan menjadi semakin tidak nyaman apabila ada penumpang yang berbaju kotor atau berbau badan (bau keringat)
- Tidak merokok diarea stasiun (diarea peron maupun diluar peron). Anda membuat orang lain menjadi passive smoker dan baju Anda menjadi bau rokok, mengganggu penumpang lain.
- Usahakan menggunakan ticket multi-trip, bukan single trip. Multi trip mengurangi antrian di loket ketika masuk atau keluar stasiun. Dengan Multi-trip, antrian di loket ketika masuk atau keluar akan terhindarkan, dan karenanya tidak menambah ruwet arus penumpang masuk ke stasiun atau keluar stasiun.
- Ketika kereta sudah mendekat, padahal Anda masih di peron sebelah, jangan nekad menyeberang. Nyawa Anda memang urusan Anda, tetapi apabila sampai terjadi kecelakaan perjalanan kereta pasti terganggu J. Anyway, fikirkan keluarga dirumah menanti Anda.
- Berdoa menurut ajaran Agama masing-masing sebelum menaiki gerbong sangat dianjurkan. Walaupun kita percaya persinyalan PT. KAI sudha baik, doa kepada Tuhan YME demi keselamatan semua tak ada salahnya bukan?
- Tak usaha dorong-dorongan ketika hendak masuk gerbong. Jika sudah penuh jangan memaksakan diri. Kasihan penumpang didalam gerbong terutama wanita dan anakanak, karena akan tergencet. Masih ada Commuter Line yang akan lewat. Jika enggan kesiangan, berangkatlah lebih pagi.
- Jika memang masih ada tempat didalam gerbong, Anda harus mau bergeser ketika ada penumpang yang akan masuk. Keengganan penumpang untuk bergeser, kearah tengah gerbong, membuat area sekitar pintu-pintu gerbong menjadi sangat padat.
- Penumpang yang hendak turun adalah prioritas. Bagi penumpang yang ada didalam gerbong, berikan kesempatan (jalan). Demikian pula kepada penumpang diluar gerbong yang hendak naik, memberikan kesempatan kepada penumpang yang turun.
- Tak perduli apakah wanita apalagi laki-laki sehat, berikan tempat duduk Anda pada manula (laki-laki atau wanita), anak kecil, wanita yang menggendong/bersama anak kecil, wanita hamil dan siapa saja yang sakit. Banyak penumpang (terutama yang wanita) tak memiliki kesadaran ini, berharap supaya penumpang laki-laki yang memberi tempat duduknya. Coba bayangkan penumpang manula itu ayah atau ibu Anda, gimana coba?
- Apabila Anda sedang terkena influensa (flu), batuk atau penyakit menular lainnya, selalu pakai masker. Lebih baik Anda tak berangkat melainkan istiraha saja di rumah. Jangan buat dosa dengan menjadi sumber penularan penyakit.
- Penumpang didalam gerbong boleh saja menelpon atau terima telpon. Tetapi, jagalah agar Anda tidak bersuara keras (teriak) yang bisa mengganggu penumpang lainya. Kalo saya biasanya sesegera mungkin menyudahi pembicaraan dengan janji akan dilanjutkan setelah tururn dari Commuter Line.
- Untuk menghilangkan kebosanan, penumpang bisa mendengarkan lagu (hanya) menggunakan headphone. Menikmati sih syah-syah saja, tapi tolong jangan sambil bergumam atau atau bernyanyi mengikuti lagu walau dengan suara kecil. Mengganggu banget tahu....!!
- Jangan membawa bagasi yang berlebihan baik dari ukuran maupun jumlahnya.
- Tidak membawa barang bagasi yang mengeluarkan bau-bauan yang dapat mengganggu penumpang lain semisal durian.
- Jangan membawa bagasi berupa mahluk hidup/peliharaan seperti anjing dan kucing. Itu namanya Anda menyiksa hewan tersebut dan penumpang lainnya.
- Apabila membawa tas rangsel, jangan diletakkan dibelakang punggung atau didepan dada, karena kedua posisi itu akan mempersempit ruang. Anda bisa simpan rangsel di tray diatas tempat duduk penumpang atau jika And aberdiri taruh dibawah diatas jari kaki Anda.
- Jangan duduk dilantai gerbong atau membawa tempat duduk portable kedalam gerbong. Kedua hal itu akan mengurangi ruang gerak penumpang.
- Tak perlu berebut turun gerbong ketika sampai stasiun tujuan, daripada membuat orang lain atau Anda sendiri jatuh terpeleset dari gerbong. Penumpang yang berdiri dekat pintu, mungkin Anda sebaiknya turun dahulu untuk melancarkan arus penumpang yang hendak turun.
- Tak usah grasa-grusu (buru-buru) ketika antri melakukan tap out di gate stasiun tujuan. Antrian yang rapih dan tertib justru akan mempercepat proses.
- Berebut ojeg atau taxi diluar stasiun juga mencerminkan budaya yang buruk. Anda malah membuat tukang ojek/taxi menjadi tak tertib, akibatnya lalu lintas sekitar stasiun macet.
Percayalah bilamana kita semua memperhatikan dan menjalankan 20 etika diatas dengan konsekwen, naik COMMUTER LINE (KRL Jabodetabek) akan lumayan nyaman, walaupun masih sering telat dan padatnya ampun-ampunan.
Oka Widana
okawidana.blogspot.com
ahlikeuangan-indonesia.com
@owidana
@ahli_keuangan
id.linked.com/in/okawidana
Langganan:
Postingan (Atom)