Rabu, 23 Januari 2013

Soal Leader (Gak bosen kan?)


Hanya orang bodoh yang berharap seorang Leader gagal dalam menjalankannya.  Toh jikk sang Leader berhasil, para anggota akan merasakan manfaatnya. Kecuali jika ia Leader/Pemimpin politik, maka banyak lawan politik yang berharap, berdoa even pakai dukun, agar saingannya yang kebetulan sedang memimpin gagal. Dalam hal, sang Leader banyak mendapat dukungan dari rakyatnya, maka dicari semua cara agar dukungan itu melorot. Fenomena yang saya sebutkan terakhir muncul, bahkan belum 100 hari Gubernur dan wakil Gubernur Jakarta terpilih Jokowi Ahok menjalankan tugasnya.

Tak kurang dari level menteri seperti Muhaimin Iskandar atau sekedar lawyer sok selebriti macam Farhat Abas, mulai melancarkan kritik yang menurut saya aneh.  Muahaimin bilang Jokowi terlalu banyak muncul di TV, sedang Farhat nyinyir mengenai nopol Wagub (en sambil memaki pula).
Leader untuk semua level merupakan sasaran kritik, dan itu mereka sudah harus tahu ketika menerima tampuk kepemimpinan. Kritik sepedas apapun, se-tak obyektif apapun ibratnya mesiu untuk maju. Kendati kadang-kadang karena seorang Leader masih dalam katagori species manusia, boleh saja sedikit marah. Esensi kritik adalah perhatian. Pengkritik telah mencurahkan energinya untuk meng-assess kelemahan, kekurangan atau kelebihan Leader yang dikritiknya. Tak patut seorang Leader berlama-lama marah atau melancarkan serangan balasan, cukup mengucapkan terima kasih, maka posisinya secara apapun sudah berada diatas sang pengkritik. Kelebihan seorang Leader yakni ketika ia mampun menangkap kebenaran atas kritik untuk memperbaiki caranya, strateginya, taktiknya dalam memimpin.

Ditulisan saya sebelumnya (www.ahlikeuangan-indonesia.com), bolak-balik saya menulis, tugas Leader di Indonesia sebenarnya gampang. Orang Indonesia ini pandai-pandai, kreatif, tahan banting, gak perlu Leader  yang sok jago ngerti semua. Cukup yang bisa memberikan inspirasi, memompa semangat dan ada digarda terdepan sebagai tauladan dalam hal kebaikan. Tentu saja kita tak butuh Leader omdo, yang berkomunikasi dengan rakyatnya hanya mlulu melalui TV dan konferensi press. Kita tak butuh Leader feodalistik, yang memimpin lewat foto (entah di bilboard atau head line surat kabar). Seolah-olah fotonya membawa cangkul, bisa membawa kesejahteraan petani atau fotonya menggulung celana ketika meninjau bah di Istananya, akan menghentikan kiriman air rob atau mengurangi kedinginan udara dipengungsian. Kita tak butuh Leader yang bermodal bintang 4 dipundak, tinggi besar macam Bima (dalam cerita wayang Mahabharata), bergelar PhD. Kita tak perduli dia Wanita atau Pria. Kita acuh apakah dia bertampang macam model indo atau kantrok.

Saya tak anti pencitraan. Sorot kamera TV dan atau konferensi press bukannya tabu dalam menjalankan kepemimpinan. Itu juga merupakan bagian strategi komunukasi kepada rakyat. Akan tetapi jika komunikasi itu serba diatur, dengan script yang sempurna, dengan behaviour yang telah dilatih berulang-ulang, maka kesan ketulusan akan hilang. Rakyat, walau dia ada di puncak gunung, tahu kok membedakan mana pemimpin selebriti mana pemimpin beneran. Rakyat juga tahu, mana yang pemimpin akting, mana yang natural. Rakyat juga tahu kok mana pemimpin pencitraan, mana pemimpin yang gak mikir pencitraan tetapi mikir kerjaan. Pencitraan tetap perlu, bukan untuk menempatkan Leader sebagai manusia setengah dewa. Pencitraan yang mengkomunikasikan bahwa Leader bagian dari rakyat. Jadi rakyat harus melihat Leader bagian dari dirinya sendiri. Setiap melihat Leadernya di TV atau membaca beritanya dikoran, seolah-olah Leader itu mewakili dirinya.

Contoh ketika Leader mengunjungi pengungsi banjir dengan cepat tanpa formalitas protokol, itu nampak seakan Anda sendiri yang datang. Ketika Leader memandori tanggul yang jebol, itu Anda banget, ya karena memang Anda kalo bisa ingin memperbaiki sendiri supaya cepat beres. Ketika Leader mengungsikan 2000 orang yang terjebak banjir, ya itu yang akan Ada lakukan kalo Anda ada dalam posisi sang Leader punya kekuasaan untuk memerintah dan mengerahkan sarana milik Pemerintah.

Saya mention soal Muhaimin, Menteri yang ketua Parpol, tapi gak jelas prestasinya apa sebagai Menteri. Toh TKI/TKW masih keleleran. Apa yang dia lakukan untuk TK yang umumnya cuma lulusan SMP/SMA? apa yang dibanggakan dari BLK-nya dia?  dia lupa bahwa orang yang berani naikin upah minimum 30% adalah gubernur yang jadi sasaran kritiknya. Lalu Farhat, sebagai pengacara mungkin saja cukup bagus...saya gak tahu sih. Tapi kelakuan orang yang mau memproyeksikan dirinya sendiri sebagai Capres, belum apa-apa sudah songong mengeluarkan kata-kata tak pantas, kita kirim kelaut aja.

Leader yang paripurna bagi saya bukan hanya sekedar memecahkan masalah jangka pendek atau masalah harian rakyat. Dia harus punya view hendak dibawa kemana rakyatnya. Yang saya ingin sampaikan adalah masalah jati diri. Apakah rakyat ini hendak dibiarkan mengikuti tarik menarik "pasar bebas", dengan semua konsekwensi yang menyertai?  Orang Indonesia tak akan pernah menjadi orang Amerika, orang Jepang bahkan orang Malaysia. Anda boleh iri dengan keberhasilan mereka dibidang ekonomi, tapi Anda gak bisa iri dengan jatidiri atau sifat mereka bukan? sayangnya sampai saat ini yang saya catat sebagai peimpin yang punya keperdulian dengan jati diri bangsa cuma ada tiga...Sukarno, Suharto dan Habibie...ada boleh setuju dan atau adu argumen dengan saya soal ini...kapan-kapan deh.

Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com

Jumat, 11 Januari 2013

2013


Tahun 2013 baru berjalan kurang dari 2 minggu ketika tulisan ini saya buat, masih bau-bau perayaan tahun baru lah. Saya dan kawan-kawan yang baru bertemu lagi ditahun 2013 ini, entah di meeting room atau lift atau KRL masih saling mengucapkan selamat tahun baru. Walau, terus terang bagi saya, momen tahun baru cuma penanda bahwa kalender meja harus diganti, tidak lebih.

Saya masih ingat ketika memasuki malam pergantian tahun, ramai-ramai kawan-kawan di BBM group, twiter, facebook selain mengucapkan selamat, juga menuliskan resolusi pribadi-nya memasuki tahun baru ini. Saya sih tak hendak repot dengan itu. Selain menengok sebentar media sosial karena memang ingin tahu, malam pergantian tahun saya lewati seperti biasa seperti malam-malam sebelumnya dengan mengunyah scientific journal, nonton bluray atau mendengarkan musik via tube stereo set kecintaan. Kebetulan istri lagi tak enak badan, sedangkan anak-anak saya yang sudah ABG punya acara sendiri dengan teman-teman sebayanya. Judulnya sroangan wae, dimalam tahun baru.

Saya tak mau report dengan membuat resolusi atau rencana hidup baru di tahun 2013. Bagi saya hidup tidak dimulai awal tahun, tidak berakhir diujung tahun. Kehidupan adalah dari hari kehari, dari jam ke jam bahkan dari detik kedetik. Saya tak hendak membuat resolusi baru tiap awal tahun baru, karena saya memiliki resolusi permanen yang tak perlu bahkan tak bisa diubah, yakni ”selalu berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan memberikan manfaat bagi orang lain”.

Resolusi permanen saya diatas, mencerminkan pandangan hidup saya yang ”inside-out view”, mengandung 2 aspek. ”Menjadi manusia lebih baik” merupakan sisi ”inside” yaitu keinginan untuk terus berusaha memperbaiki diri dari hari kehari, baik fisik, rohani maupun spritual (hadist nabi Muhammad SAW...” “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung. Barangsiapa harinya seperti sebelumnya, maka ia telah merugi, dan barangsiapa yang harinya lebih jelek dari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang celaka”.HR Hakim....lihat catatan dibawah). Akan tetapi ”inside” tidak cukup, anda tidak pernah tahu kapan "cukup" itu tercapai. Saya memandang bahwa "cukup" sama dengan bahagia. Sedangkan ukuran  kebahagian seharusnya bersifat ”out-side”, bermanfaat bagi orang lain (hadist nabi Muhammad SAW...” Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain” HR Tabrani). Kebahagiaan kita datang jika orang lain bisa bahagia karena kita.

Susah? ribet? gak juga sih. Justru sangat sederhana. Prinsip diatas hanyalah menjaga keseimbangan pribadi dan lingkungannya. Tiada nilai keberadaan pribadi manusia tanpa keberadaan pribadi tersebut dalam lingkungan sosialnya. Manusia tidak hidup sendiri.....

Tentu saja pemikiran diatas bukan datang ujug-ujug. Pengalaman yang dialami sendiri serta belajar dari kejadian yang menimpa orang lain disertai pencarian tanpa henti nilai-nilai kehidupan dari ajaran agama, itulah yang mendasari.

Ah saya cuma sharing aja...gak ngajarin. Mengelaborasi inside-out view diatas lebih dalam saja, saya tak ingin. Bagi Anda  yang mau buat resolusi 2013 dan mantab dengan itu, fine-fine saja. Apapun isinya. Kalau saya sih jelas, malas buat lagi...yang entu aja adalah perjuangan tanpa henti.

Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
okawidana.blogspot.com

Catatan :
Terhadap hadist “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung. ...dst” ada yang menyatakan bahwa hadis ini dhaif atau sanadnya tidak runtut/shahih. Namun saya percaya bahwa substansinya sangat bagus dan tiada yang salah dengan inti ajaran dalam ”hadist’ tersebut.