Rabu, 07 Agustus 2013

Makna Iedul Fitri : bukan hari kemenangan



Setiap tahun ketika hari-hari akhir ramadhan, dan iedul fitri menjelang, selalu saja aroma perayaan makin terasakan. Di berbagai pasar, mall penuh sesak dengan orang-orang yang hendak berbelanja bahan makanan dan pakaian untuk menyambut hari raya itu. Segenap iklan, banner dimedia cetak dan terutama televisi, bahkan pada acara-acara berita, infotainment dan feuture, seakan berlomba mendorong keriaan dengan menawarkan belanja. Belakangan sering sekali saya lihat slogan menyambut iedul fitri berbunyi “Raih hari kemenangan” . Bagi saya konotasi “raih kemenangan” seakan kita telah melewati suatu cobaan dengan baik dan kemudian saatnya merayakan dan berpesta.

Iedul fitri (dan iedul adha) memang sebuah perayaan. Hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang bisa dipakai acuan mengenai sejarah iedul fitri (dan iedul adha) jelas menyatakan hal itu, “Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu (hari raya pra Islam, note saya) dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.” (Abu Dawud dan an-Nasa’i). Dalam kesempatan berbeda, sahabat Nabi yakni Abu Bakar, menegur beberapa wanita yang bernyanyi-nyanyi dirumah Nabi. Dalam hal ini Nabi kemudian bersabda, “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita” (HR Bukhari).

Walaupun hadist Nabi diatas mengungkapkan bahwa iedul fitri adalah hari raya, namun dalam konteks berakhirnya Ramadhan, saya kira yang paling tepat dirayakan tidak dengan sembarang pesta, melainkan pesta atau festival perwujudan rasa syukur.

Perayaan iedul fitri merupakan penanda berakhir ramadhan. Rasa syukur itu dalam tradisi di Indonesia (berlaku juga di Malaysia, Brunai dan negara-negara lain), diwujudkan dengan menjalin dan mempererat silaturahmi, antar orang tua dan anak, antar saudara, antar tetangga. Ungkapan maaf lahir batin kepada sesama, merupakan pelengkap rangkaian ibadah ritual selama ramadhan, yang Allah janjikan sendiri akan diganjar dengan ampunan dosa-dosa. Orang Islam percaya bahwa dosa akibat membangkang perintah Allah bisa diampuni melalui puasa, sedangkan dosa-dosa kepada sesama manusia, harus tetap meminta maaf secara langsung kepada yang bersangkutan.

Ramadhan sendiri juga merupakan pesta, yaitu pesta spiritual, dimana Allah membuka pintu lebar-lebar dalam memberikan pahala, berkah dan ampunan dosa. Setiap amal baik akan diganjar pahala berlipat ganda dibandingkan bulan-bulan diluar ramadhan. Akan tetapi jika kita renungkan lebih dalam, sebenarnya Ramadhan adalah bulan yang sengaja ditentukan Allah, sebagai bulan latihan.  Bulan dimana umat, melatih dirinya  menekan nafsu jasmaniah, menaham amarah, tidak melakukan perbuatan yang dilaknat agama, menambah amalan-amalan ritual siang dan malam hari, membaca dan mempelajari kita suci (Al Quran) dan lain-lain selama sebulan penuh.

Bukankah yang tersirat dari perintah Allah yang diapakai sebagai dasar menjalankan puasa dibulan Ramadhan, “Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183), adalah bahwa puasa (dan ibadah serta amalan lainnya) merupakan bagian proses menjadi manusia bertaqwa? PROSES..ya benar. Manusia bertaqwa akan sangat sulit dicapai hanya dnegan berupasa sebulan penuh. Itu adalah maqom (tingkatan) spiritual manusia yang dicapai setelah berjuang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya secara kaffah dan konsisten sepanjang hidup. Proses yang tiada henti, pastinya.

Bagi saya. slogan menjelang iedul fitri “Raih Kemenangan” dan sejenisnya sangat tidak tepat. Melewati bulan ramadhan, bukan berarti memenangkan sesuatu. Itu adalah bulan latihan, penempaan diri agar dibulan-bulan berikutnya kita menjadi orang lebih baik. Tak akan ada artinya, bila setelah ramadhan, seolah kuda liar yang dilepaskan dari kekangnya? Korupsi dan maling dikerjakan lagi? Menipu tak jadi haram lagi? Berbuat maksiat tak memalukan lagi? Mengumbar amarah dan murka tak lagi dosa?

Ya bulan latihan. Keberhasilannya ditunjukkan bukan dengan kemeriahan perayaan kelulusan atau wisuda berbentuk iedul fitri. Melainkan, sekali lagi, apakah kita secara pribadi menjadi lebih baik setelah ramadhan? Disamping yang fardhu-fardhu…Tadurus masih terus, puasa (Senin Kamis) tetap rajin, salat malam (tahajud) tak pernah tertinggal, enggan bohong dan berjinah, tak suka barang haram dan lainnya.

Tak salah dan bukan bid'ah jika iedul fitri diisi saling memaafkan, berkunjung kehandai taulan. Namun  harap diingat, iedul fitri adalah awal proses ketaatan menuju ketaqwaan sampai ramadhan berikutnya. 

Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
okawidana.blogspot.com
solusi_kampiun.blogspot.com
ahlikeuangan-indonesia.com