Setiap tahun ketika hari-hari akhir ramadhan, dan iedul
fitri menjelang, selalu saja aroma perayaan makin terasakan. Di berbagai pasar,
mall penuh sesak dengan orang-orang yang hendak berbelanja bahan makanan dan
pakaian untuk menyambut hari raya itu. Segenap iklan, banner dimedia cetak dan
terutama televisi, bahkan pada acara-acara berita, infotainment dan feuture,
seakan berlomba mendorong keriaan dengan menawarkan belanja. Belakangan sering
sekali saya lihat slogan menyambut iedul fitri berbunyi “Raih hari kemenangan”
. Bagi saya konotasi “raih kemenangan” seakan kita telah melewati suatu cobaan
dengan baik dan kemudian saatnya merayakan dan berpesta.
Iedul fitri (dan iedul adha) memang sebuah perayaan.
Hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang bisa dipakai acuan mengenai sejarah iedul
fitri (dan iedul adha) jelas menyatakan hal itu, “Sesungguhnya Allah mengganti
kedua hari raya itu (hari raya pra Islam, note saya) dengan hari raya
yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.” (Abu Dawud dan an-Nasa’i). Dalam
kesempatan berbeda, sahabat Nabi yakni Abu Bakar, menegur beberapa wanita yang
bernyanyi-nyanyi dirumah Nabi. Dalam hal ini Nabi kemudian bersabda,
“Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya,
dan hari ini adalah hari raya kita” (HR Bukhari).
Walaupun hadist Nabi diatas mengungkapkan bahwa iedul fitri
adalah hari raya, namun dalam konteks berakhirnya Ramadhan, saya kira yang
paling tepat dirayakan tidak dengan sembarang pesta, melainkan pesta atau
festival perwujudan rasa syukur.
Perayaan iedul fitri merupakan penanda berakhir ramadhan.
Rasa syukur itu dalam tradisi di Indonesia (berlaku juga di Malaysia, Brunai
dan negara-negara lain), diwujudkan dengan menjalin dan mempererat silaturahmi,
antar orang tua dan anak, antar saudara, antar tetangga. Ungkapan maaf lahir
batin kepada sesama, merupakan pelengkap rangkaian ibadah ritual selama
ramadhan, yang Allah janjikan sendiri akan diganjar dengan ampunan dosa-dosa.
Orang Islam percaya bahwa dosa akibat membangkang perintah Allah bisa diampuni
melalui puasa, sedangkan dosa-dosa kepada sesama manusia, harus tetap meminta
maaf secara langsung kepada yang bersangkutan.
Ramadhan sendiri juga merupakan pesta, yaitu pesta
spiritual, dimana Allah membuka pintu lebar-lebar dalam memberikan pahala,
berkah dan ampunan dosa. Setiap amal baik akan diganjar pahala berlipat ganda
dibandingkan bulan-bulan diluar ramadhan. Akan tetapi jika kita renungkan lebih
dalam, sebenarnya Ramadhan adalah bulan yang sengaja ditentukan Allah, sebagai bulan
latihan. Bulan dimana umat, melatih
dirinya menekan nafsu jasmaniah, menaham
amarah, tidak melakukan perbuatan yang dilaknat agama, menambah amalan-amalan
ritual siang dan malam hari, membaca dan mempelajari kita suci (Al Quran) dan
lain-lain selama sebulan penuh.
Bukankah yang tersirat dari perintah Allah yang diapakai
sebagai dasar menjalankan puasa dibulan Ramadhan, “Hai orang-orang yang
beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183), adalah bahwa puasa (dan ibadah serta amalan
lainnya) merupakan bagian proses menjadi manusia bertaqwa? PROSES..ya benar.
Manusia bertaqwa akan sangat sulit dicapai hanya dnegan berupasa sebulan penuh.
Itu adalah maqom (tingkatan) spiritual manusia yang dicapai setelah
berjuang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya secara kaffah dan
konsisten sepanjang hidup. Proses yang tiada henti, pastinya.
Bagi saya. slogan menjelang iedul fitri “Raih Kemenangan” dan
sejenisnya sangat tidak tepat. Melewati bulan ramadhan, bukan berarti
memenangkan sesuatu. Itu adalah bulan latihan, penempaan diri agar
dibulan-bulan berikutnya kita menjadi orang lebih baik. Tak akan ada artinya,
bila setelah ramadhan, seolah kuda liar yang dilepaskan dari kekangnya? Korupsi dan
maling dikerjakan lagi? Menipu tak jadi haram lagi? Berbuat maksiat tak
memalukan lagi? Mengumbar amarah dan murka tak lagi dosa?
Ya bulan latihan. Keberhasilannya ditunjukkan bukan dengan kemeriahan perayaan
kelulusan atau wisuda berbentuk iedul fitri. Melainkan, sekali lagi, apakah
kita secara pribadi menjadi lebih baik setelah ramadhan? Disamping yang fardhu-fardhu…Tadurus
masih terus, puasa (Senin Kamis) tetap rajin, salat malam (tahajud) tak pernah
tertinggal, enggan bohong dan berjinah, tak suka barang haram dan lainnya.
Tak salah dan bukan bid'ah jika iedul fitri diisi saling memaafkan, berkunjung kehandai taulan. Namun harap diingat, iedul fitri adalah awal proses ketaatan menuju ketaqwaan sampai
ramadhan berikutnya.
Oka Widana
@owidana
@ahli_keuangan
okawidana.blogspot.com
solusi_kampiun.blogspot.com
ahlikeuangan-indonesia.com