Tulisan Prof Frimanzah menarik untuk saya dari berbagai
sudut. Pertama karena ini tulisan civitas FE UI yang biasanya tak lepas dari
aliran pasar bebas (liberalisme dan anak cucu pemikirannya).
Kedua, Prof Firmanzah mengindikasikan bahwa BUMN, BUMD lah yang seharusnya menjadi pelopor dan pandu dalam ekonomi kolaboratif, karena Pemerintah dan Pemda yang mengontrol BUMN dan BUMD tersebut. Saya menambahkan bahwa fitrah BUMN dan BUMD adalah development and social agency. Untung akunting merupakan mandatory, namun keuntungan sosial dan lingkungan merupakan tujuan yang lebih penting. Dalam kerangka good governence, maka Pemerintah hanya dibatasi sebagai regulator. BUMN dan BUMD sepenuhnya pada level player, setara dengan pemain-pemain swasta lainnya. Memang jadi agak utopia disini bahwa BUMN/BUMND harus kompetitif tetapi peran sebagai social agent tak boleh ditinggalkan. Menurut saya, jawabannya mungkin terletak pada bidang-bidang yang digeluti BUMN/BUMD, yakni hanya pada wilayah yang secara langsung dan significant menyangkut kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, kebetulan contoh yang disampaikan terjadi di Bali (kampung halaman saya), yang sangat menjunjung tinggi tradisi gotong royong. Tradisi subak, kelompok usaha di Banjar (dusun) bahkan sampai ngaben (upacara pembakaran jenazah) yang sebenarnya bersifat gotong royong juga. Saya percaya bahwa didaerah-daerah lain, nilai2 gotong royong jauh lebih kental daripada nilai-nilai persaingan bebas.
Saya masih yakin bahwa karakter bangsa ini adalah kolaboratif dan berfikiran positif. Jadi memang diperlukan penyesuaian menghadapai iklim pasar bebas yang core-nya adalah invidualistik. Menurut hemat saya titik temu antara kolaborasi dan individualisme, dimana kolaboratif adalah kerjasama antar individu yang masing-masing memberikan nilai tambah kepada hasil akhir. Dengan kata lain, kolaboratif harus menghasilkan sinergi, berupa nilai tambah lebih besar daripada hasil total yang dihasilkan jika para individu itu bekerja sendiri-sendiri. Artinya, kolaboratif hanya terjadi jika ada sinergi.
Jika beberapa tahun lalu dimillis ini diributkan bahwa ekonomi pancasila adalah wadah kosong yang masih perlu diisi. Maka, saya kira, ekonomi kolaboratif merupakan salah satu kandidat konsep yang terkuat untuk mengisi wadah kosong itu. Saya berargumen bahwa ekonomi pancasila bukan mahzab baru sistem ekonomi, melainkan ”hanya” strategi Indonesia –negara, bangsa dan rakyat- dalam mensiasati percaturan ekonomi global.
Saya katakan ekonomi kolaboratif sebagai strategi, berkaca pada contoh-contoh dilapangan dimana beberapa bangsa melakukan ini. Sebagai gambaran adalah kolaborasi ala perusahaan Jepang di Indonesia. Sudah merupakan pengetahuan bersama bahwa perusahaan Jepang (Murni tened 100% atau Joint Venture) hanya mau berbank-ing dengan bank Jepang. Terhadap nasabah Jepang, Bank Jepang sangat relax dalam penetapan jaminan dan suku bunga. Demikian juga dalam mencari suplier, perusahaan Jepang memprioritaskan pemasok Jepang. Harus diakui bahwa kolaborasi semacam itu tidak mengurangi efisiensi produksi mereka. Hal inilah yang harus dipelajari dan menjadi topik riset kedepan, bagaimana kolaborasi mendorong efisiensi.
Perusahaan Korea nampaknya mengcopy budaya kolaboratif dari Jepang. Saya melihat perusahaan China dan India juga melakukan hal serupa. Bahkan belakangan, bank-bank China mendorong penggunaan mata uang China sebagai mata uang LC (Leter of Credit). Bank-bank milik Malaysia dan Singapura di Indonesia mulai juga mengarah resana (mempromosikan mata uang negara masing2).
Sekali lagi, kolaborasi tidak bisa dari paksaan politik atau alasan lain diluar ekonomi dan efisiensi, namun saya tetap memandang bahwa ia ditumbuh kembangkan dari culture (tradisi) bangsa ini. Memang perlu penyesuaian, misalnya culture dalam melakukan pekerjaan atau memproduksi barang harus memberikan yang terbaik, dari segi harga, kualitas dan aspek lainnya. Akan tetapi harus diingat bahwa produksi/pekerjaan yang terbaik harus dimulai dari produksi/pekerjaan untuk bangsa sendiri, bukan terbalik. Ketika bekerja atau memproduksi untuk bangsa lain kita hebat, namun untuk bangsa sendiri asal-asalan. Itulah pula yang dilakukan Jepang, Korea dan China yang pertama kali mengusahakan produksi/pekerjaan terbaik kepada bnagsanya sendiri, dan jika sudah terbiasa demikian, secara otomatis pekerjaan/produksi untuk dijual keluar juga akan terbaik.
Pada akhirnya, semua konsep baik tergantung implementasinya kepada kepemimpinan nasional. Diwilayah BUMN, Menteri BUMN mendorong kolaborasi BUMN. Seharusnya tidak terbatas pada BUMN, melainkan disemua lini. Ekonomi kolaboratif merupakan strategi ketahanan ekonomi nasional dan untuk memenangkan persaingan antar bangsa. Otherwise kita kembali terperangkap pada strategi “devide at impera”, yang bukan dilakukan oleh negara penjajah, tetapi oleh ideologi pasar bebas.
Oka Widana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com
Kedua, Prof Firmanzah mengindikasikan bahwa BUMN, BUMD lah yang seharusnya menjadi pelopor dan pandu dalam ekonomi kolaboratif, karena Pemerintah dan Pemda yang mengontrol BUMN dan BUMD tersebut. Saya menambahkan bahwa fitrah BUMN dan BUMD adalah development and social agency. Untung akunting merupakan mandatory, namun keuntungan sosial dan lingkungan merupakan tujuan yang lebih penting. Dalam kerangka good governence, maka Pemerintah hanya dibatasi sebagai regulator. BUMN dan BUMD sepenuhnya pada level player, setara dengan pemain-pemain swasta lainnya. Memang jadi agak utopia disini bahwa BUMN/BUMND harus kompetitif tetapi peran sebagai social agent tak boleh ditinggalkan. Menurut saya, jawabannya mungkin terletak pada bidang-bidang yang digeluti BUMN/BUMD, yakni hanya pada wilayah yang secara langsung dan significant menyangkut kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, kebetulan contoh yang disampaikan terjadi di Bali (kampung halaman saya), yang sangat menjunjung tinggi tradisi gotong royong. Tradisi subak, kelompok usaha di Banjar (dusun) bahkan sampai ngaben (upacara pembakaran jenazah) yang sebenarnya bersifat gotong royong juga. Saya percaya bahwa didaerah-daerah lain, nilai2 gotong royong jauh lebih kental daripada nilai-nilai persaingan bebas.
Saya masih yakin bahwa karakter bangsa ini adalah kolaboratif dan berfikiran positif. Jadi memang diperlukan penyesuaian menghadapai iklim pasar bebas yang core-nya adalah invidualistik. Menurut hemat saya titik temu antara kolaborasi dan individualisme, dimana kolaboratif adalah kerjasama antar individu yang masing-masing memberikan nilai tambah kepada hasil akhir. Dengan kata lain, kolaboratif harus menghasilkan sinergi, berupa nilai tambah lebih besar daripada hasil total yang dihasilkan jika para individu itu bekerja sendiri-sendiri. Artinya, kolaboratif hanya terjadi jika ada sinergi.
Jika beberapa tahun lalu dimillis ini diributkan bahwa ekonomi pancasila adalah wadah kosong yang masih perlu diisi. Maka, saya kira, ekonomi kolaboratif merupakan salah satu kandidat konsep yang terkuat untuk mengisi wadah kosong itu. Saya berargumen bahwa ekonomi pancasila bukan mahzab baru sistem ekonomi, melainkan ”hanya” strategi Indonesia –negara, bangsa dan rakyat- dalam mensiasati percaturan ekonomi global.
Saya katakan ekonomi kolaboratif sebagai strategi, berkaca pada contoh-contoh dilapangan dimana beberapa bangsa melakukan ini. Sebagai gambaran adalah kolaborasi ala perusahaan Jepang di Indonesia. Sudah merupakan pengetahuan bersama bahwa perusahaan Jepang (Murni tened 100% atau Joint Venture) hanya mau berbank-ing dengan bank Jepang. Terhadap nasabah Jepang, Bank Jepang sangat relax dalam penetapan jaminan dan suku bunga. Demikian juga dalam mencari suplier, perusahaan Jepang memprioritaskan pemasok Jepang. Harus diakui bahwa kolaborasi semacam itu tidak mengurangi efisiensi produksi mereka. Hal inilah yang harus dipelajari dan menjadi topik riset kedepan, bagaimana kolaborasi mendorong efisiensi.
Perusahaan Korea nampaknya mengcopy budaya kolaboratif dari Jepang. Saya melihat perusahaan China dan India juga melakukan hal serupa. Bahkan belakangan, bank-bank China mendorong penggunaan mata uang China sebagai mata uang LC (Leter of Credit). Bank-bank milik Malaysia dan Singapura di Indonesia mulai juga mengarah resana (mempromosikan mata uang negara masing2).
Sekali lagi, kolaborasi tidak bisa dari paksaan politik atau alasan lain diluar ekonomi dan efisiensi, namun saya tetap memandang bahwa ia ditumbuh kembangkan dari culture (tradisi) bangsa ini. Memang perlu penyesuaian, misalnya culture dalam melakukan pekerjaan atau memproduksi barang harus memberikan yang terbaik, dari segi harga, kualitas dan aspek lainnya. Akan tetapi harus diingat bahwa produksi/pekerjaan yang terbaik harus dimulai dari produksi/pekerjaan untuk bangsa sendiri, bukan terbalik. Ketika bekerja atau memproduksi untuk bangsa lain kita hebat, namun untuk bangsa sendiri asal-asalan. Itulah pula yang dilakukan Jepang, Korea dan China yang pertama kali mengusahakan produksi/pekerjaan terbaik kepada bnagsanya sendiri, dan jika sudah terbiasa demikian, secara otomatis pekerjaan/produksi untuk dijual keluar juga akan terbaik.
Pada akhirnya, semua konsep baik tergantung implementasinya kepada kepemimpinan nasional. Diwilayah BUMN, Menteri BUMN mendorong kolaborasi BUMN. Seharusnya tidak terbatas pada BUMN, melainkan disemua lini. Ekonomi kolaboratif merupakan strategi ketahanan ekonomi nasional dan untuk memenangkan persaingan antar bangsa. Otherwise kita kembali terperangkap pada strategi “devide at impera”, yang bukan dilakukan oleh negara penjajah, tetapi oleh ideologi pasar bebas.
Oka Widana
www.ahlikeuangan-indonesia.com
www.okawidana.blogspot.com
@owidana
Ekonomi
Kolaboratif Ekonomi Gotong-Royong
Author: PROF
FIRMANZAH PhD
Keberhasilan membangun Jembatan Tol Bali (Tol Mandara)
menjadi tonggak perubahan paradigmatik skema kerja sama pembangunan dan sistem
ekonomi di Indonesia .
Saya menyebut perubahan paradigmatik karena sifatnya mendasar dan fundamental.
Pembangunan yang
didasarkan pada skema kolaborasi serta kemitraan strategis, bukan skema
persaingan atau kompetisi. Jembatan tol tersebut diwujudkan melalui kolaborasi
dan strategic partnership antara pemerintah pusat daerah, BUMN dan BUMD. Sinergi
ini tercermin dari kepemilikan PT Jasa Marga Bali Tol selaku badan usaha jalan
tol, di mana PT Jasa Marga (Persero) Tbk memiliki porsi saham 60%, PT Pelindo
III (Persero) 20%, PT Angkasa Pura I (Persero) 10%, PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk 5%, PT Adhi Karya (Persero) Tbk 2%, PT Hutama Karya (Persero) Tbk 2%, dan
PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) 1%.
Saya memandang Indonesia saat ini sangat
membutuhkan ekonomi kolaboratif dalam semua tingkatan baik di tingkat
kebijakan, penguatan industri nasional, pembangunan infrastruktur, maupun
pemberdayaan masyarakat. Terlebih konsep dan skema kolaboratif sebenarnya
berakar dari semangat kolektif bangsa ini yaitu gotongroyong. Dalam skema
gotong-royong, masing-masing aktor baik individu maupun organisasi
berkontribusi sesuai kemampuannya mewujudkan kepentingan lebih besar.
Semangat kolaboratif dan gotong-royong tidak bersifat
memaksa, tetapi tidak juga menjadikan para aktor ekonomi bersikap acuh-tak-acuh
dan free-rider untuk wujudkan tujuan kolektif. Semangat kolaboratif dibangun atas kesadaran kolektif terhadap pentingnya
saling dukung dan bukan saling jegal. Ego sektoral menjadi sangat tidak relevan
dalam sistem ekonomi kolaboratif. Terlebih saat ini kebutuhan anggaran dalam
MP3EI tidak semua dapat dibiayai APBN.
Dari
Rp4.000 triliun anggaran MP3EI antara 2011-2014, pembiayaan dari swasta sebesar
49%, pemerintah 12%, BUMN 18%, dan campuran 21%. Meski begitu, dalam tataran
implementasi, semua pihak termasuk pemerintah daerah dan BUMD diharapkan dapat
proaktif baik dalam pengusulan, perancangan, sampai pengerjaan proyek
infrastruktur. Sekali lagi semangat kolaborasi baik yang tercermin dalam upaya
kolektif penghapusan hambatan investasi, pembentukan konsorsium dan badan usaha
bersama perlu terus kita dukung bersama.
Hanya
melalui semangat kebersamaan dan saling dukung inilah target percepatan dan
perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat kita capai bersama.
Kembali ke proyek pembangunan Jalan Tol Bali, saya mengandaikan apabila tidak
ada skema kolaboratif untuk membangun Jembatan Tol Bali dengan panjang sekitar
12,7 km, akan sulit kita wujudkan. Pembangunan tol di atas laut yang
menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Nusa Dua dan Benoa itu hanya membutuhkan
waktu 14 bulan.
Kolaborasi
dan sinergi yang ditunjukkan selama perencanaan dan pembangunan proyek
infrastruktur ini dapat menjadi best-practice bagi proyekpembangunanlaindi
Indonesia. Dalam sistem
kolaborasi dan gotong-royong dimungkinkan ada kerja sama, partnership, dan
sharingressourcesantarpelaku ekonomi. Skema ini menjadi sangat penting ketika
sebuah sistem entah itu negara, provinsi, kabupaten/kota, perusahaan (BUMN,
swasta, koperasi), atau bentuk organisasi lain memiliki keterbatasan sumber daya.
Sementara
kebutuhan pembangunan sangat tinggi dan perlu dukungan semua pihak. Karena itu,
percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya akan
terakselerasi pembangunannya ketika ini ditunjang oleh segenap pelaku ekonomi.
Kolaborasi antara pemerintah pusat-daerah serta dunia usaha sangat diperlukan
untuk mempermudah perizinan, pembebasan lahan, penguatan struktur permodalan,
serta pengerjaan teknisnya.
Saat
inikitaperlulebih banyak lagi bandara udara, jalan tol, air bersih, bendungan,
rel kereta api, pelabuhan, dan industrialisasi yang dipercepat pembangunannya.
Saat ini semangat kolaboratif dan gotong-royong telah menemukan kembali arti
penting di Indonesia. Selain pembangunan jembatan tol di Bali, semangat ekonomi
kolaboratif dan gotong-royong juga tercermin pada komitmen 140 BUMN untuk
menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
Tanda tangan nota
kesepakatan dilakukan pada Senin (21/10) di hadapan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Sehingga pada 1 Januari 2014, seluruh karyawan BUMN otomatis menjadi
peserta BPJS kesehatan dan diharapkan dapat memperkuat lembaga BPJS kesehatan.
Iuran BPJS kesehatan dari BUMN diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan
lembaga BPJS kesehatan dan yang terpenting dapat menyubsidi silang dengan
mereka yang membutuhkan.
Komitmen
penggabungan 140 BUMN merupakan bukti ekonomi kolaboratif dan gotong-royong di
Tanah Air telah menemukan kembali arti penting sebagai komplemen dari skema
persaingan atau kompetisi. Semangat kolaboratif antara pemerintah pusat-daerah
dan dunia usaha juga dilakukan baru-baru ini. Kesadaran kolektif untuk
meningkatkan kemandirian pangan yang membutuhkan kerja sama dan koordinasi di
tingkat implementasi antara pusat-daerah dan dunia usaha terus ditingkatkan.
Baik pemerintah
pusat maupun daerah serta dunia usaha saling berbagi tugas dan berkontribusi
untuk meningkatkan produksi pangan terutama pada lima komoditas strategis yaitu
beras, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Untuk meningkatkan kemandirian
pangan, di Bukittinggi telah ditandatangani komitmen pencapaian sasaran dan
rencana aksi ketahanan pangan oleh 12 menteri, 12 gubernur, dan Kadin
Indonesia.
Melalui semangat
kolaboratif dan gotong-royong ini, kita tentu optimistis kemandirian pangan
Indonesia ke depan akan menjadi lebih kuat dan berdaya tahan. Sistem
kolaboratif dan gotong-royong semakin kita butuhkan mengingat tantangan yang
dihadapi Indonesia ke depan menjadi tidak lebih sederhana. Perekonomian
Indonesia akan dihadapkan pada tatanan ekonomi global dan kawasan yang semakin
terintegrasi, interdependensi, dan penuh ketidakpastian.
Sementara di
dalam negeri kita semakin memerlukan stabilitas dan resiliensi untuk menghadapi
setiap gejolak ekonomi yang bersumber dari eksternal. Penguatan jejaring
produksi nasional, konektivitas, pencapaian MDGs, daya saing nasional, serta
perluasan ekspansi perusahaan nasional ke pasar luar negeri semakin membutuhkan
koordinasi, komunikasi, dan kerja sama lintas sektoral. Menciptakan dan
membangun ekonomi kolaboratif dan gotong-royong tidak dapat dilakukan apabila
setiap pelaku ekonomi at all cost untuk kepentingan sendiri.
Tidak
mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan yang lebih luas. Semangat
dominatif atas yang lain harus dikurangi dan digantikan dengan semangat
keterbukaan, saling memahami, serta berkontribusi. Inilah yang dilakukan
sejumlah negara seperti Jepang dan Korea Selatan untuk memperkuat struktur
industri dalam negeri serta ekspansinya ke pasar regional-global. Dengan bekal
nilai-nilai gotong-royong yang diwariskan oleh pendiri bangsa, kita optimistis
akan lebih banyak lagi bentuk-bentuk kerja sama sebagai manifestasi ekonomi
kolaboratif di Indonesia. ●
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus
Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan