Rabu, 11 September 2013

Indeks Kebahagiaan - Orang Indonesia ternyata kurang bahagia


Apa definisi kebahagiaan? kita bisa berdebat panjang pendek, memang sulit. Lebih sulit lagi mengukur kebahagiaan. 

Apapun, badan PBB bernama UN Sustainable Development Solutions  Network (SDSN) pada tahun 2013 ini melakukan survey mengukur indeks kebahagiaan, dengan membandingkan kondisi 156 negara di dunia, menyimpulkan rakyat Indonesia kurang bahagia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN misalnya Singapore (rangking #30) Thailand (#36), Malaysia  (#56), Vietnam (#63). Negara Indonesia (rangking #76) cuma lebih bagus dari Philipina (#92), Laos (109) ==> Brunai, Kamboja dan TimTim tidak masuk survey. 

Tolok ukur dari kebahagiaan sebuah negara menurut survey ini adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, antara lain berupa indeks kebebasan, korupsi dan PDB per kapita sebuah negara. Pentingnya mengukur kebahagiaan karena orang-ornag yang secara emosional bahagia memiliki kencedrungan untuk lebih mensyukuri hidup. Selain itu orang-ornag yang tinggal dalam masyarakat yang bahagia maka hidupnya menjadi lebih sehat, produktif, memiliki keperdulian sosial. Pada akhirnya orang-orang dan masyarakat yang behagia akan berdampak positif pada keluarga, lingkungan kerja, masyarakat yang lebih luas.

Hasil survey itu (http://unsdsn.org/files/2013/09/WorldHappinessReport2013_online.pdf), top10 negara yang rakyatnya paling bahagia adalah (#1) Denmark, (#2) Norwegia, (#3) Swiss, (#4) Belanda, (#5) Swedia, (#6) Kanada, (#7) Finlandia, (#8) Austria, (#9) Islandia (#10)Australia. Negara-negara ini terkenal dengan kebijakan Pemerintahnya soal pendidikan, kesehatan dan pensiun. Selain itu mereka juga melindungi kebebasan individu (sebebas-bebasnya) dan concern terhadap lingkungan hidup. 

Survey sangat menekankan pentingnya kesehatan mental (Mental health). Bahkan dikatakan "mental illness is one of the main causes of unhappiness". Selanjutnya disebutkan bahwa kesehatan mental merupakan bahagian penting dari kemampuan individual untuk memberi arti pada kehidupannya antara lain berpengaruh kepada kemampuan belajar, bekerja sesuai minat dan kemampuan mengambil keputusan sehari-hari (rumah tangga, pendidikan, pekerjaan). Kesehatan mental akan berpengaruh pada bagaimana individu berinteraksi sosial, merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya serta kemampuan untuk secara mandiri mengambil keputusan.

Survey ini tidak mengkaitkan kebahagiaan dengan spiritualitas apalagi religiusitas. Kebahagiaan merupakan keseimbangan antara kesejahteraan material, kemudian berpengaruh pada kesehatan mental. Jika keduanya bagua dan seimbang, niscaya indeks kebahagiaan menjadi tinggi. Survey jelas menunjuukan hal ini, paling tidak di negara-negara "agama" menurut survey ini, rakyatnya juga gak bahagia-bahagia amat. Contoh Arab Saudi (#33), Pakistan (#81) dan Iran (#115) ==> Tetapi Israel rangking 11 (:

Akan tetapi indeks kebahagiaan versi UN SDSN, bukan satu-satunya cara yang mencoba mengukur kebahagiaan. Gross National Happiness (www.grossnationalhappiness.com) yang dipelopori raja Jigme Singye Wangchuck IV dari negara Bhutan (negara kecil di kaki Himalaya). Berbeda dengan UN SDSN, menurut teori sang Raja atau kemudian dikenal dengan model Bhutan, kebahagiaan adalah perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional DILETAKKAN di atas perkembangan ekonomi.

Beberapa contoh prinsip Bhutan dalam mencapai kebahagiaan (yang tak terlalu risau dengan pertumbuhan ekonomi adalah:
- Setiap tahun, setiap orang Bhutan harus menanam 10 batang pohon. Walhasil angka cakupan hutan belantara di Bhutan sebesar 72% berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak 26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional. Pada 2005 Bhutan memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme, UNEP).
- Disebelah selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Bhutan. Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan dalam tempo 4 tahun, mereka malah memilih waktu 12 tahun untuk menembus gunung sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan raksasa tentang kisah sang Budha.
- Oleh karena tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa sebesar US$ 200, membatasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami pencemaran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.
- Pada akhir 2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh negeri. Ini adalah pelarangan merokok total kali pertama di dunia, para warganya dilarang menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.
- Bhutan menerapkan aturan umum bahwasanya laki-perempuan harus mengenakan model busana nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai dan disebut Kira.
- Pengelolaan pertanian harus dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pupuk kimia.

Model UN SDSN dan model Bhutan tidak paparel. Paling tidak survey UN SDSN tidak dilakukan di Bhutan, sebaliknya model Bhutan, barulah teoritical model yang belum dicoba diluar negara Bhutan.

Bagaimana dengan Indonesia? Hasil survey UN SDSN, rakyat Indonesia tak terlalu bahagia (rangking #76 dari 156 negara). Penjelasannya jelas didepan mata, walau pertumbuhan ekonomi lumayan, lapisan warga paling atas yang menikmati madu terbesar. Rakyat bawah justru megap-megap melepaskan diri dari himpitan kenaikan harga terus menerus, pendidikan apa adanya, layanan birokrasi yang buruk dan korup. Walau rakyat Indonesia memiliki religiusitas yang tinggi, hal itu mungkin hanya berperan sebagai buffer yang membuat rakyat lebih sabar dan tahan tekanan. Namun kondisi ini tidaklah membuat rakyat bahagia secara emosional. 

Seperti penjelasan sebelumnya orang-orang yang tidak bahagia akan membuat masyarakat sekitarnya juga tak bahagia. Akhirnya Negara secara keseluruhan menjadi kurang bahagia.

Sebagai penutup, untuk Indonesia, hasil survey ini penting dimaknai sebagai kebutuhan rakyat untuk hidup lebih baik. Tak perlu malu mengakui memang ada latent problem dibalik semua indikator ekonomi yang dibangga-banggakan. Indeks kebahagiaan (versi UN SDSN) ini mewakili silent voice dari rakyat yang ingin memperbaiki taraf hidup.
Saya yakin, mau pakai model manapun (model UN SDSN atau pakai model Bhutan) saya kira hasilnya gak akan jauh berbeda. Atau mau develop model kebahagiaan sendiri? model Indonesia?

Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
okawidana.blogspot.com
solusi-kampiun.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar