Apa definisi
kebahagiaan? kita bisa berdebat panjang pendek, memang sulit. Lebih sulit lagi mengukur kebahagiaan.
Apapun, badan PBB bernama UN Sustainable
Development Solutions Network (SDSN) pada tahun 2013 ini melakukan survey mengukur indeks kebahagiaan,
dengan membandingkan kondisi 156 negara di dunia, menyimpulkan rakyat Indonesia
kurang bahagia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN misalnya Singapore (rangking #30) Thailand
(#36), Malaysia (#56), Vietnam (#63). Negara Indonesia (rangking #76) cuma lebih bagus dari Philipina
(#92), Laos
(109) ==> Brunai, Kamboja dan TimTim tidak masuk survey.
Tolok ukur dari
kebahagiaan sebuah negara menurut survey ini adalah kebijakan yang diambil
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, antara lain berupa indeks
kebebasan, korupsi dan PDB per kapita sebuah negara. Pentingnya mengukur kebahagiaan karena orang-ornag yang secara emosional bahagia memiliki kencedrungan untuk lebih mensyukuri hidup. Selain itu orang-ornag yang tinggal dalam masyarakat yang bahagia maka hidupnya menjadi lebih sehat, produktif, memiliki keperdulian sosial. Pada akhirnya orang-orang dan masyarakat yang behagia akan berdampak positif pada keluarga, lingkungan kerja, masyarakat yang lebih luas.
Hasil survey itu (http://unsdsn.org/files/2013/09/WorldHappinessReport2013_online.pdf),
top10 negara yang rakyatnya paling bahagia adalah (#1) Denmark , (#2) Norwegia, (#3) Swiss, (#4)
Belanda, (#5) Swedia, (#6) Kanada, (#7) Finlandia, (#8) Austria , (#9) Islandia (#10)Australia . Negara-negara
ini terkenal dengan kebijakan Pemerintahnya soal pendidikan, kesehatan dan
pensiun. Selain itu mereka juga melindungi kebebasan individu
(sebebas-bebasnya) dan concern terhadap lingkungan hidup.
Survey sangat menekankan pentingnya kesehatan mental (Mental
health). Bahkan dikatakan "mental illness is one of the main causes of unhappiness".
Selanjutnya disebutkan bahwa kesehatan mental merupakan bahagian penting dari
kemampuan individual untuk memberi arti pada kehidupannya antara lain
berpengaruh kepada kemampuan belajar, bekerja sesuai minat dan kemampuan
mengambil keputusan sehari-hari (rumah tangga, pendidikan, pekerjaan). Kesehatan
mental akan berpengaruh pada bagaimana individu berinteraksi sosial, merasa
puas dengan kehidupan yang dijalaninya serta kemampuan untuk secara mandiri
mengambil keputusan.
Survey ini tidak mengkaitkan kebahagiaan dengan spiritualitas
apalagi religiusitas. Kebahagiaan
merupakan keseimbangan antara kesejahteraan material, kemudian berpengaruh pada
kesehatan mental. Jika keduanya bagua dan seimbang, niscaya indeks kebahagiaan
menjadi tinggi. Survey jelas menunjuukan hal ini, paling tidak di negara-negara
"agama" menurut survey ini, rakyatnya juga gak bahagia-bahagia amat. Contoh
Arab Saudi (#33), Pakistan (#81) dan Iran (#115) ==> Tetapi Israel rangking
11 (:
Akan tetapi indeks
kebahagiaan versi UN SDSN, bukan satu-satunya cara yang mencoba mengukur kebahagiaan.
Gross National Happiness (www.grossnationalhappiness.com) yang dipelopori raja
Jigme Singye Wangchuck IV dari negara Bhutan (negara kecil di kaki Himalaya). Berbeda
dengan UN SDSN, menurut teori sang Raja atau kemudian dikenal dengan model
Bhutan, kebahagiaan adalah perkembangan yang seimbang antara materi dan
spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap
kebudayaan tradisional DILETAKKAN di atas perkembangan ekonomi.
Beberapa contoh
prinsip Bhutan dalam mencapai kebahagiaan (yang tak terlalu risau dengan
pertumbuhan ekonomi adalah:
- Setiap tahun,
setiap orang Bhutan harus menanam 10 batang pohon. Walhasil angka cakupan hutan
belantara di Bhutan sebesar 72% berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak
26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional. Pada 2005 Bhutan
memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United
Nations Environment Programme, UNEP).
- Disebelah
selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah
tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air)
Bhutan. Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan
dalam tempo 4 tahun, mereka malah memilih waktu 12 tahun untuk menembus gunung
sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah
tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan
raksasa tentang kisah sang Budha.
- Oleh karena
tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan
ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa
sebesar US$ 200, membatasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami
pencemaran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.
- Pada akhir
2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh
negeri. Ini adalah pelarangan merokok total kali pertama di dunia, para
warganya dilarang menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.
- Bhutan
menerapkan aturan umum bahwasanya laki-perempuan harus mengenakan model busana
nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut
sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai
dan disebut Kira.
- Pengelolaan
pertanian harus dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pupuk kimia.
Model UN SDSN dan
model Bhutan tidak paparel. Paling tidak survey UN SDSN tidak dilakukan di
Bhutan, sebaliknya model Bhutan, barulah teoritical model yang belum dicoba
diluar negara Bhutan.
Bagaimana dengan
Indonesia? Hasil survey UN SDSN, rakyat Indonesia tak terlalu bahagia (rangking #76 dari 156 negara). Penjelasannya jelas
didepan mata, walau pertumbuhan ekonomi lumayan, lapisan warga paling atas yang
menikmati madu terbesar. Rakyat bawah justru megap-megap melepaskan diri dari
himpitan kenaikan harga terus menerus, pendidikan apa adanya, layanan birokrasi
yang buruk dan korup. Walau rakyat
Indonesia memiliki religiusitas yang tinggi, hal itu mungkin hanya berperan
sebagai buffer yang membuat rakyat lebih sabar dan tahan tekanan. Namun kondisi ini tidaklah membuat rakyat bahagia secara emosional.
Seperti penjelasan sebelumnya orang-orang yang tidak bahagia akan membuat masyarakat sekitarnya juga tak bahagia. Akhirnya Negara secara keseluruhan menjadi kurang bahagia.
Sebagai penutup, untuk
Indonesia, hasil survey ini penting dimaknai sebagai kebutuhan rakyat untuk
hidup lebih baik. Tak perlu malu mengakui memang ada latent problem dibalik
semua indikator ekonomi yang dibangga-banggakan. Indeks kebahagiaan (versi UN
SDSN) ini mewakili silent voice dari rakyat yang ingin memperbaiki taraf hidup.
Saya yakin, mau
pakai model manapun (model UN SDSN atau pakai model Bhutan) saya kira hasilnya
gak akan jauh berbeda. Atau mau develop model kebahagiaan sendiri? model
Indonesia?
Oka Widana
@ahli_keuangan
@owidana
okawidana.blogspot.com
solusi-kampiun.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar