Kamis, 05 Juli 2012

Bulan Ramadhan a.k.a Bulan Puasa


Kurang lebih 2 minggu lagi umat muslim akan memasuki bulan Ramadhan. Tanggal persisnya, untuk kawan-kawan “penggembira” Muhamadyah mulai 22 Juli 2012, sedang yang lain menunggu pengumuman Pemerintah c.q Menteri Agama. Tebakan saya sih, 1 Ramadhan versi Pemerintah akan mulai tanggal 21. Akan tetapi bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan attitude, behavior, gampangnya culture kita, muslim Indonesia dalam menghadapi dan ketika bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ibadah. Yang utama selain ibadah reguler lainnya, yakni berpuasa, mulai waktu Shubuh sampai berkumandang adzan Maghrib. Arti berpuasa, yang paling sederhana  adalah menahan lapar dan dahaga serta hubungan badan. Dalam definisi  yang lebih kompleks, berpuasa sebenarnya menahan nafsu duniawi termasuk amarah dan berlatih meningkatkan kualitas ibadah baik yang sifatnya ritual maupun hubungan baik dengan sesama manusia. Bulan Ramadhan ini, penuh rahmat, ampunan dan petunjuk Allah SWT, kesempatan bagi muslim untuk meningkatkan kualitas spiritual, bertafakur dan merenung segala perbuatan maupun tindakan bulan-bulan sebelumnya. Dengan harapan, dapat menjalankan praktek kehidupan yang lebih baik setelah Ramadhan. Singkat kata bulan Ramadhan, merupakan bulan istimewa.

Sayangnya keistimewaan Ramadhan identik dengan berbagai hal yang kurang pas, dan terus terang sebagai muslim saya agak malu. Saya kemukakan beberapa contoh dibawah ini.  Bukannya sok tahu atau sok suci, melainkan semata berharap agar menjadi positive internal critic. Mumpung masih 2 minggu lagi, siapa tahu tulisan ini menjadi pemicu Ramadhan bagi kawan-kawan Muslim, yang lebih baik.

Memang secara fisik, karena tak makan dan minum disiang hari, puasa jelas tantangan yang cukup berat. Tetapi toh ini bulan spritual, bagaimana mungkin bisa meningkatkan kualitas spiritual jika tantangan fisik dijadikan alasan untuk misalnya mengurangi produktifitas kerja? Datang kekantor lebih siang dan pulang lebih cepat? Acara-acara workshop dan seminar biasanya dihindari selama Ramadhan. Entah dengan alasan tidak dapat snack atau kencederungan mengantuk karena perut kosong. Bukankah seharusnya Ramadhan menjadi kesempatan muslim mengumpulkan pahala dan berkat sebanyak-banyaknya? Bekerja adalah ibadah, pasti pahalanya melimpah selama ramadhan kenapa harus dikurangi, justru?

Saya seringkali gak enak terutama dengan rekan-rekan non muslim. Mereka malah harus bertoleransi kepada yang sedang berpuasa. Harus maklum jika rekan kerja atau anak buahnya berlambat-lambat dan mengantuk atau pulang lebih cepat. Kesannya Ramadhan malah jadi penghambat. 

Yang lebih parah, Ramadhan mendorong konsumerisme. Belanja dapur lebih banyak, kontradiksi dengan perintah puasa yang justru seharusnya bisa mengurangi porsi makan. Banyak informasi di TV atau media yang bilang bahwa untuk dapat berpuasa dengan lancar maka asupan gizi harus dijaga. Ini diartikan sebagai belanja!! Yang tadinya gak minum susu, jadi beli susu. Yang tadinya makan daging seminggu sekali, ini jadi tiap hari. Yang tadinya gak tiap hari makan telur, pas puasa minimal 2 butir, dan seterusnya. Katanya bulan puasa salah satu tujuannya agar bisa menghayati kehidupan orang tak punya, yang terjadi malah jor-joran. Tak heran jika menjelang Ramadhan harga naik, karena para produsen dan penjual mengantisipasi peningkatan demand.

Konsumerisme meningkat tentu ada aspek positifnya juga. Kantor-kantor banyak mengadakan acara buka puasa bersama, yang bisa mempererat komunikasi dan silaturahmi karyawan dan bos-nya. Saya bilang, ya jangan bulan Ramadhan saja atuh, kalo mau silaturhami.

Secara esktrim saya ingin katakan, bulan Ramadhan beberapa tahun terakhir seolah menjadi bulan pesta. Bukan pesta spiritual atau ibadah, tetapi pesta belanja dan konsumerisme. Bukan hanya bahan makananan yang menjadi cermin konsumerisme selama Ramadhan seperti contoh saya diatas. Amazingly, almost  anything barang yang dijual di Indonesia selama bulan Ramadhan meningkat, termasuk mobil, motor, TV, HP. Orang bisa saja mengkaitkan peningkatan penjualan mobil karena dipakai untuk pulang kampung menjelang lebaran. Balik lagi, bukankah justru hakekat Ramadhan adalah menahan nafsu duniawi. Beli mobil untuk pulang kampung, bukan untuk pamer kekayaan atau keberhasilan, kan?

Ada lagi fenomena yang memprihatinkan, yakni acara-acara TV khususnya saat sahur, dini hari. Hanya sedikit TV yang menawarkan acara yang relevan dengan bulan Ramadhan, kebanyakan hanya berisi banyolan. Kalopun ada acara-acara rohani, hanya bagian kecil segment, dan rationale-nya simpel, acara rohani gak laku iklan. Ramadhan tentu boleh-boleh saja dihadapi dengan relaks, tetapi bukan berarti tidak serius.

Saya cuma kuatir, makin lama, kehidupan beragama menjadi semakin kering. Ritual keagamaan tidak dipahami konteks maupun filosofinya, pada akhirnya hanya akan menjadi upacara. Jika sudah seperti itu, ritual agama dianggap sebagai beban dan akan ditinggalkan. Agama menjadi tidak penting dan kesannya membuang-buang waktu, karena jika tujuannya hanya menjadikan diri kita lebih baik tidak perlu report menahan lapar dan minum.  Persis seperti aksioma yang sekarang berlaku dibarat ”Spiritual but not religious”.

Padahal jelas agama adalah jalan menuju Tuhan. Tanpa agama, manusia mungkin bisa menemukan kebaikan tetapi tidak akan menemukan Tuhan.

Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com

PS.
Sebagai tambahan Ramadhan memunculkan organisasi yang merasa memiliki kuasa, karena Ramadhan menjadi polisi moral. Ngobrak-ngabrik tempat hiburan, menegur langsung orang yang makan minum siang hari (padahal belum tentu dia muslim) dll.  Saya juga tak suka dengan kemaksiatan, baik selama atau diluar Ramadhan. Akan tetapi bagi saya, polisi moral swasta malah membuat gaduh dan mengurangi kekhusyukan. Ya kalo polisi sungguhan dianggap gak mampu, bagaimana jika kita doakan rame-rame saja...? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar