Kurang lebih 2 minggu lagi umat muslim akan memasuki bulan
Ramadhan. Tanggal persisnya, untuk kawan-kawan “penggembira” Muhamadyah mulai
22 Juli 2012, sedang yang lain menunggu pengumuman Pemerintah c.q Menteri
Agama. Tebakan saya sih, 1 Ramadhan versi Pemerintah akan mulai tanggal 21.
Akan tetapi bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan attitude, behavior,
gampangnya culture kita, muslim Indonesia
dalam menghadapi dan ketika bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ibadah. Yang utama selain
ibadah reguler lainnya, yakni berpuasa, mulai waktu Shubuh sampai berkumandang
adzan Maghrib. Arti berpuasa, yang paling sederhana adalah menahan lapar dan dahaga serta hubungan
badan. Dalam definisi yang lebih
kompleks, berpuasa sebenarnya menahan nafsu duniawi termasuk amarah dan
berlatih meningkatkan kualitas ibadah baik yang sifatnya ritual maupun hubungan
baik dengan sesama manusia. Bulan Ramadhan ini, penuh rahmat, ampunan dan
petunjuk Allah SWT, kesempatan bagi muslim untuk meningkatkan kualitas
spiritual, bertafakur dan merenung segala perbuatan maupun tindakan bulan-bulan
sebelumnya. Dengan harapan, dapat menjalankan praktek kehidupan yang lebih baik
setelah Ramadhan. Singkat kata bulan Ramadhan, merupakan bulan istimewa.
Sayangnya keistimewaan Ramadhan identik dengan berbagai hal
yang kurang pas, dan terus terang sebagai muslim saya agak malu. Saya kemukakan
beberapa contoh dibawah ini. Bukannya
sok tahu atau sok suci, melainkan semata berharap agar menjadi positive internal
critic. Mumpung masih 2 minggu lagi, siapa tahu tulisan ini menjadi pemicu Ramadhan bagi kawan-kawan Muslim, yang lebih baik.
Memang secara fisik, karena tak makan dan minum disiang
hari, puasa jelas tantangan yang cukup berat. Tetapi toh ini bulan spritual,
bagaimana mungkin bisa meningkatkan kualitas spiritual jika tantangan fisik
dijadikan alasan untuk misalnya mengurangi produktifitas kerja? Datang kekantor
lebih siang dan pulang lebih cepat? Acara-acara workshop dan seminar biasanya
dihindari selama Ramadhan. Entah dengan alasan tidak dapat snack atau
kencederungan mengantuk karena perut kosong. Bukankah seharusnya Ramadhan
menjadi kesempatan muslim mengumpulkan pahala dan berkat sebanyak-banyaknya? Bekerja
adalah ibadah, pasti pahalanya melimpah selama ramadhan kenapa harus
dikurangi, justru?
Saya seringkali gak enak terutama dengan rekan-rekan non muslim. Mereka malah harus bertoleransi kepada yang sedang berpuasa. Harus maklum jika rekan kerja atau anak buahnya berlambat-lambat dan mengantuk atau pulang lebih cepat. Kesannya Ramadhan malah jadi penghambat.
Yang lebih parah, Ramadhan mendorong konsumerisme. Belanja
dapur lebih banyak, kontradiksi dengan perintah puasa yang justru seharusnya
bisa mengurangi porsi makan. Banyak informasi di TV atau media yang bilang
bahwa untuk dapat berpuasa dengan lancar maka asupan gizi harus dijaga. Ini
diartikan sebagai belanja!! Yang tadinya gak minum susu, jadi beli susu. Yang
tadinya makan daging seminggu sekali, ini jadi tiap hari. Yang tadinya gak tiap
hari makan telur, pas puasa minimal 2 butir, dan seterusnya. Katanya bulan
puasa salah satu tujuannya agar bisa menghayati kehidupan orang tak punya, yang
terjadi malah jor-joran. Tak heran jika menjelang Ramadhan harga naik, karena
para produsen dan penjual mengantisipasi peningkatan demand.
Konsumerisme
meningkat tentu ada aspek positifnya juga. Kantor-kantor banyak mengadakan
acara buka puasa bersama, yang bisa mempererat komunikasi dan silaturahmi
karyawan dan bos-nya. Saya bilang, ya jangan bulan Ramadhan saja atuh, kalo mau
silaturhami.
Secara esktrim
saya ingin katakan, bulan Ramadhan beberapa tahun terakhir seolah menjadi bulan
pesta. Bukan pesta spiritual
atau ibadah, tetapi pesta belanja dan konsumerisme. Bukan hanya bahan makananan yang menjadi cermin
konsumerisme selama Ramadhan seperti contoh saya diatas. Amazingly, almost anything barang yang dijual di Indonesia
selama bulan Ramadhan meningkat, termasuk mobil, motor, TV, HP. Orang bisa saja
mengkaitkan peningkatan penjualan mobil karena dipakai untuk pulang kampung
menjelang lebaran. Balik lagi, bukankah justru hakekat Ramadhan adalah menahan
nafsu duniawi. Beli mobil untuk pulang kampung, bukan untuk pamer kekayaan atau
keberhasilan, kan?
Ada lagi fenomena
yang memprihatinkan, yakni acara-acara TV khususnya saat sahur, dini hari. Hanya
sedikit TV yang menawarkan acara yang relevan dengan bulan Ramadhan, kebanyakan
hanya berisi banyolan. Kalopun ada acara-acara rohani, hanya bagian kecil
segment, dan rationale-nya simpel, acara rohani gak laku iklan. Ramadhan tentu
boleh-boleh saja dihadapi dengan relaks, tetapi bukan berarti tidak serius.
Saya cuma kuatir,
makin lama, kehidupan beragama menjadi semakin kering. Ritual keagamaan tidak
dipahami konteks maupun filosofinya, pada akhirnya hanya akan menjadi upacara.
Jika sudah seperti itu, ritual agama dianggap sebagai beban dan akan
ditinggalkan. Agama menjadi tidak penting dan kesannya membuang-buang waktu,
karena jika tujuannya hanya menjadikan diri kita lebih baik tidak perlu report
menahan lapar dan minum. Persis seperti
aksioma yang sekarang berlaku dibarat ”Spiritual but not religious”.
Padahal jelas
agama adalah jalan menuju Tuhan. Tanpa agama, manusia mungkin bisa menemukan
kebaikan tetapi tidak akan menemukan Tuhan.
Oka Widana
@ahli_keuangan
www.ahlikeuangan-indonesia.com
okawidana.blogspot.com
PS.
Sebagai tambahan Ramadhan memunculkan organisasi yang merasa memiliki kuasa, karena Ramadhan menjadi polisi moral. Ngobrak-ngabrik tempat hiburan, menegur langsung orang yang makan minum siang hari (padahal belum tentu dia muslim) dll. Saya juga tak suka dengan kemaksiatan, baik selama atau diluar Ramadhan. Akan tetapi bagi saya, polisi moral swasta malah membuat gaduh dan mengurangi kekhusyukan. Ya kalo polisi sungguhan dianggap gak mampu, bagaimana jika kita doakan rame-rame saja...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar